Chicken Stays, Eagle Flies – Jawapos 7 Januari 2013

Kisah persahabatan antara ayam dengan burung elang pernah saya bahas dalam buku Cracking Zone. Kisah persahabatan keduanya selalu menarik perhatian, termasuk penerima hadiah Nobel Desmond Tutu, penulis Avelynn Garcia, eksekutif Christopher Gregorowsky dan kartunis Niki Daly. Belum lama ini, bahkan Gregorowsky menulis buku yang sangat inspiratif: Fly, Eagle, Fly: An African Tale.

Dan akhir tahun lalu, di tengah-tengah konversi manajemen mutu di Surabaya, saya juga ditanya soal yang sama. Soal itu tak lain tentang sulitnya “mengkandangkan” elang. Dan ini menjadi tantangan besar pengelola UKM di tahun 2013. Masalahnya elang adalah satu-satunya burung yang berburu sendirian. Mereka bukan makhluk kandangan. Mereka terbang tinggi, dan semakin tinggi saat badai menerjang. Kalau makhluk-makhluk lain berhenti terbang saat badai datang, elang justru menggunakan badai agar bisa terbang lebih tinggi lagi.

Elang adalah simbol dari manusia produktif, intrapreneur, pekerja profesional yang melanglang buana dengan helicopter view, dan menerkam peluang secepat kilat. Larinya lincah. DNA nya dibentuk dari mengamati, belajar dan berbuat. Bukan Cuma tengok kiri-tengok kanan. Elang adalah risk taker, pemberani, penjelajah berkaki kuat, meski dia sendirian dan sulit dikandangkan.

Dua Sahabat

Dalam buku Wren (Wren’s World) diceritakan persahabatan kedua makhluk ini. Dan coba renungkan siapakah anda, ayam atau elang, dan tanyakan siapa yang anda “pelihara” atau siapa yang jadi rekan-rekan kerja anda, ayam atau elang. Sekali lagi jangan tersinggung, ini hanya metafora.

Diceritakan kedua sahabat itu pergi beriringan (meski elang bisa menerkam si ayam, tetapi keduanya bersahabat). Setiap kali elang terbang, si ayam lari pontang-panting, terbang-terbang sedikit. Tetapi elang suatu ketika berhasil mengajak terbang tinggi dan si ayam buru-buru minta turun karena perutnya mual. Dan matanya dipenuhi rasa takut. Mereka lalu berhenti di sebuah kandang sapi bertemu dengan hewan tambun yang biasa diberi makan enak.

Mereka terkejut ternyata paman sapi baik hati dan mau berbagi jagung-jagung yang dimakannya. Mengapa begitu? “Di sini makanan berlimpah, mudah didapat, tuan kami baik hati, setiap hari kami diberi makan,” jawab paman sapi. Ayam betina memutuskan tinggal di sana dan meninggalkan sahabatnya. Ia berpikir enak tinggal di lumbung jagung, makan diberi. “Capek cari makan sendiri,” ujarnya.

Elang terkejut. Baginya aneh ada makhluk yang bisa makan tanpa melakukan apa-apa. Diberi rumah dan makan cuma-cuma. Persahabatan mereka berakhir. Elang memilih terbang bebas, ayam memilih tinggal di kandang sapi, makan sepuas hati. Ia tak pernah beberja keras. Sampai suatu pagi ia mendengar ibu petani mengatakan ingin makan ayam goreng. Si ayam gelisah. Ia memutuskan kabur secepatnya. Ingin kembali terbang, tetapi badannya telah kegemukan. Sayap-sayapnya tak mampu membawanya terbang jauh. Ia hanya bisa mengepak-ngepakkan sayapnya.

Esoknya, hidup si ayam selesai di meja makan, menjadi santapan pemberi makan.

Paradigma Turn Over

Moral story dari kisah itu tentu tak jauh dari prinsip driver-passenger yang sering saya ulas. Manusia punya pilihan: bekerja keras menjadi elang, terbang merantau, melatih kaki yang kuat-mata yang tajam, setajam para bikers di kota New York yang bertugas mengantar surat dalam hitungan detik (lihat film Premium Rush) atau menjadi “penumpang” yang hidup enak tanpa tuntutan, tanpa keterampilan hidup. Menjadi “ayam” adalah sama dengan bekerja pada perusahaan yang membiarkan anda bekerja atau tidak, tidak ada evaluasi, target atau genjotan-genjotan.

Dan ini tentu berkaitan dengan cara berpikir para manajer SDM, dan para pemberi kerja. Paradigma lama dalam administrative people management menekankan pentingnya menjaga agar turn over SDM diupayakan tidak tinggi. Ini tentu bagus bagi perusahaan-perusahaan besar dimana karier bisa dibangun berlapis-lapis.

Namun di era Cracking Zone, sebuah fakta baru perlu diperhatikan, turn over yang rendah (normalnya di bawah 2%) justru bisa menimbulkan efek “Chicken Stays.” Ya, seperti yang kita rasakan di dunia pelayanan publik. Chickennya kurus-kurus, meski makannya banyak, tetapi matanya redup, daya juangnya rendah. Chicken adalah simbol dari pegawai yang kemungkinan besar penakut dan pemalas, bukan pejuang.

Lantas apa yang harus dilakukan?

Saya kira tak ada cara lain, metode recruitment mesti diubah, dari rekruitmen setahun sekali menjadi rekruitmen sepanjang waktu. Dari rekruitmen berdasarkan signal ijazah kepada tata nilai. Dari mental passenger menjadi driver. Letih tapi membuat hidup lebih mudah di hari tua. Inilah yang saya ulas dalam buku Cracking Values yang menunjukkan pentingnya nilai-nilai dalam mempertahankan keunggulan di abad 21. Jangan merasa susah ketika dibuat susah perusahaan atau negara dan sebaliknya jangan bersenang-senang ketika dimanjakan keadaan.

Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *