Generation Gap (2) – Jawa Pos 26 November 2012

Santap malam di Pendopo Aceh bersama Gubernur, dr. H. Zaini Abdullah (9/11-2012 lalu) sungguh mengasyikkan. Dokter keluarga lulusan Universitas Sumatera Utara (1972) dan spesialis dari Kerolinska Universiteits Swedia berusia 72 tahun ini menghabiskan lebih dari 20 tahun hidupnya di Swedia. Ia menawarkan saya durian dan penganan khas Aceh, timpan sebagai penutup hidangan. Di kepala meja, duduk mentroe (sebutan bagi menteri negara) Tengku Malik Mahmud (73) yang ikut memberikan pandangan-pandangan dan berbagi cerita.

Keduanya adalah tokoh karismatis Aceh, orang tua yang suaranya sangat didengar. Dari mulut keduanya saya bisa menyimpulkan betapa sejuk Aceh di tangan mereka. Keduanya visioner, dan bagi mereka syariat Islam adalah penegakkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat Aceh. Itu sebabnya keduanya menginginkan merit system (sistem kepegawaian berbasiskan kecepatan) dalam proses kerja pemerintahannya.
Belajar dari keduanya, saya ingin mengatakan satu hal ini: Generasi tua tidak melulu menjadi ancaman feodal. Mereka dapat menjadi sumber inspirasi, sumber pembaharuan.

Gap itu Riil

Menunjuk saya sebagai assesor untuk memiliki eksekutif-eksekutif di kawasan pelabuhan bebas Sabang tentu bukanlah hal yang mudah. Anda pun tahu saya sangat sibuk dan memegang teguh prinsip-prinsip GCG. Tetapi itu tidak menyurutkan tokoh-tokoh Aceh untuk mencari saya. Sewaktu bertemu di Jakarta, Gubernur hanya memesan hal yang sangat singkat: merit system. Ia ingin Aceh dipimpin oleh putra-putri terbaiknya. Bukan semata-mata karena keluarga dan bukan pula karena kenalan. Saya tentu paham, setelah 3 kali menjadi panitia seleksi calon pimpinan KPK dan terlibat dalam proses pemilihan sejumlah direksi, saya sangat maklum dengan cara berpikir masyarakat kita yang amat “bersiasat”.

Menempatkan publik sebagai “atasan” yang harus dilayani tidak sulit, sepanjang Anda mau berkorban, bekerja dengan aturan yang jelas, dan mendidik kerabat menghargai prinsip-prinsip merit system.
Dr. Zaini Abdullah menghadapi generasi-generasi muda yang terpaut 20-30 tahun dibawahnya. Wakil Gubernurnya (Muzakir Manaf) berusia 48 tahun. Walikota Sabang Zulkifli Adam, berusia 37 tahun dan Bupati Aceh Besar Mukhlis Barsyah, 41 tahun. Ia memimpin tiga generasi sekaligus. Generasi sebayanya yang lama di luar negeri kita sebut saja sebagai generasi tua. Lalu generasi yang lahir antara 1955-65, dan antara 1965-1975. Ketiganya amat berbeda.

Kalau Anda melihat dengan kaca mata orang kota, Anda mengatakan yang satu generasi tatap muka (“see me”) dan dua generasi dibawahnya adalah generasi telefon (“call me”) dan generasi SMS atau email (“text me”). Anda tentu merasakan betapa orang-orang tua masih ingin sering-sering melakukan meeting yang menuntut kehadiran fisik anda di ruang rapat. Dan banyak yang beranggapan kalau secara fisik tidak hadir diartikan tidak mendukung, tidak respek.

Sebaliknya generasi-generasi muda banyak bertanya apa masih perlu secara fisik ke sana? Mengapa tidak rapat menggunakan skype saja? Bukankah Virtual Office juga office? Mengapa tidak bertemu di kedai kopi saja? Mengapa tidak ada wifi? Demikian seterusnya. Cara inilah yang kini ditempuh Dahlan Iskan yang meski sudah tak muda, sejak ganti hati,  jadi lebih muda.

Tetapi di Aceh, kita melihat sebaliknya. Generasi tua yang lama di luar negeri justru amat menghargai merit system dan ingin membangun profesionalisme. Sebaliknya kaum muda yamg dibesarkan di era konflik dan bergerilya di gunung-gunung belum terbiasa dengan merit system. Dalam hal inilah kaum tua yang berpengalaman bisa memberikan kontribusi dan wisdom nya untuk membimbing generasi-generasi muda agar lebih siap menghadapi masa depan. Sebab kalau bisa disatukan, bekerja lintas generasi adalah sebuah kekuatan besar.

Button Theory

Namun demikian harus diakui umumnya, generasi tua adalah generasi yang linglung. Linglung adalah orang yang banyak bingung, mudah lupa, dan prosesornya mulai melambat karena memory nya mulai penuh dan aus. Kita semua akan mengalami hal serupa. Di sebuah kota kecil di Jawa Barat, kemarin saya sempat mengintervensi panitia yang meminta saya berbicara agar mereka merampingkan acara. Maklum generasi tua banyak membiarkan agendanya diisi mereka dengan banyak sambutan. Padahal panitia dan MC nya adalah generasi muda. Saya tak habis berpikir bagaimana orang muda membiarkan dirinya tidak menghargai waktu. Sewaktu saya sampaikan bahwa kita telah menghabiskan lebih dari sejam untuk pembukaan saja, barulah sebagian orang tersadar.

Dalam generation gap juga dikenal istilah button theory. Ya, button atau kenop yang biasa dijumpai pada hampir semua alat elektronik. Generasi yang lahir sampai tahun 1975-an sangat terbiasa bekerja dengan alat yang ada button nya. Namun di eratouch screen dewasa ini, anak-anak muda yang lahir pasca 1975 sudah mulai bekerja dengan gadget tanpa button.

Lantas apa kata button theory dalam generation gap? Begini. Ketika diberi gadget, orang tua selalu mencari button nya, dan sebelum menanganinya, orang tua selalu memulainya dengan bertanya. Mereka banyak tanya kepada kaum muda dan minta dijelaskan ini dan itu. Sementara bagi anak-anak muda, begitu diberi gadget mereka langsung mengutak-atiknya. Bahkan melakukannya tanpa membaca manualnya terlebih dahulu. Learning by doing. Maka ketika ditanya kaum tua, mereka pun berteriak, “waaaaa… mengapa tidak dicoba dulu?”
Kalau sudah berbeda begini, biasalah kita berbeda pendapat. Tetapi generation gap bukanlah rintangan bagi pembaharuan

Bersambung

Rhenald Kasali

Founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *