Di Semarang, malam minggu 8 September 2012 saya mengikuti rapat pimpinan asosiasi yang setelah saya pikir-pikir terdiri dari \”orang-orang gila\”. Dalam buku John Elkinton dan Pamela Hartigan mereka disebut insane, bahkan unreasonable. Kalau sesuatu sudah dibilang tidak bisa, tidak menguntungkan, atau tidak menarik, mereka malah tertarik dan ingin membuktikan sebaliknya. Dan yang diurus sebenarnya bukanlah hal yang menarik bagi orang lain: sampah, orang sakit, orang-orang yang dilahirkan cacat, miskin dan dibuang oleh keluarga, bahkan WC, kaum adat yang terpinggirkan atau pertanian yang dianggap perbankan beresiko tinggi tidak untung dan seterusnya.
Dan hari Minggunya, 9 September, pemikiran-pemikiran orang-orang gila ini kami pamerkan kepada kaum muda. Saya sendiri datang dengan membawa 20 orang mahasiswa UI yang tergabung dalam Young Fellow Rumah Perubahan. Kelak anak-anak muda ini akan memimpin gerakan social entrepreneur, bukan kewirausahaan biasa.
Panggilan dan Terpanggil
\”Orang-orang Gila\” yang saya maksud adalah orang yang suka \”mendengar\” suara-suara yang tak didengar banyak orang, dan bisa melihat yang tak terlihat. Tapi kata pendiri asosiasi yang saya ketuai ini (AKSI), Bambang Ismawan, sebenarnya semua orang \”dipanggil\” dan \”ditunjukkan\” untuk melihat, tetapi hanya orang-orang gila inilah yang terpanggil. Makanya, bagi manusia normal mereka ini bisa dianggap gila. Mereka mau berbagi walaupun belum punya mobil atau rumah sendiri. Memiliki bakat kewirausahaan, tapi untungnya tidak dipakai buat melayani orang-orang yang bisa membayar atau kelas menengah. Juga tidak dipakai untuk memperkaya diri sendiri, melainkan untuk melayani rakyat miskin. Walaupun mereka sudah membayar pajak dan tugas itu harusnya dijalankan pemerintah, mereka ikhlas saja mengambil peran dan melakukannya.
Orang-orang yang terpanggil itu, katanya lagi, ketika bekerja seperti sedang kerasukan. Awal kerasukannya juga bermacam-macam. Ada yang dipanggil karena cacat seperti Irma Suryati, orang Kebumen yang melamar kerja kesana kemari selalu ditolak, sehingga lalu mengambil kain perca sisa dari sebuah pabrik garmen di Semarang yang biasanya hanya dibakar begitu saja. Dari situ ia buat keset yang dikerjakan bersama-sama kaum difabel. Namun ketika hasilnya banyak, ia kesulitan menjual. \”Saya bawa ke jakarta dengan truk besar, sampai di Tanah Abang pukul dua dini hari saat Jakarta sedang dilanda banjir besar tahun 2006,\” kenangnya. Tapi dari Tanah Abang ia belajar menghadapi pasar dan mengenal pedihnya berurusan dengan preman Jakarta.
Irma kini menjadi usahawan difabel yang melayani kaum difabel. Peserta rapat lainnya adalah Sumadi yang pergi ke pelosok-pelosok Nusantara mengajarkan kaum miskin agar punya jamban sehat (WC) dan hidupnya lebih bersih. Ia mengajarkan cara arisan agar penduduk kampung memiliki sanitasi yang bersih. Sama seperti Sugeng yang sering kita lihat di program tivi Kick Andy, si pembuat kaki palsu yang sejak kecil kehilangan kakinya.
Ada Haji Idin, jawara dari Betawi yang kadang disebut si Pitung. Dia bilang jawara itu orang yang berilmu, murah hati, lapang dada dan menghormati pemikiran orang lain. Walau hanya berpendidikan kelas empat SD, ia sudah mendokumentasi tanaman Bambu Nusantara dengan segala karakternya. Dia tak menggunakan masanya untuk memeras, melainkan memperbaiki pikiran para pengembang yang membuang sampah sembarangan atau merampas aliran tepi sungai Ciliwung untuk mendapatkan air bersih. Semua itu dipakai untuk mensejahterakan masyarakat yang tinggal dan mencari makan di pinggir kali.
Jadi Tuhan memanggil mereka dengan berbagai cara dan dalam bidang yang beragam. Ada yang \”terpanggil\” mengurusi kaum miskin di tepi sungai, ada yang mengurus anak-anak autis tak mampu, pedagang kaki lima, orang cacat, dan seterusnya. Panggilan itu, kata Robert Greanleaf (1970) adalah sebuah panggilan suci yang datang secara original dari dalam jiwa, untuk melayani sesama. Katanya lagi, panggilan itu berawal dari kemampuan berempati, melihat perspektif dari sisi lain, ketrampilan mendengarkan, menangkap foresight, dan punya kesadaran untuk bertindak.
Perspektif Kaum Miskin
Belakangan perhatian terhadap pasar kaum miskin lumayan cukup besar, namun sayangnya perspektif yang dibangun adalah perspektif \”pasar\” yaitu kumpulan massa yang jumlahnya besar dengan kekuatan konsumsi sebagai obyek pemasaran. Bagi mereka, the poor (kaum miskin) adalah the have not yang memerlukan bantuan pemerintah. Mereka akan berdaya kalau pemerintah meningkatkan subsidi dalam aneka bidang. Namun sayangnya subsidi ini sering tidak tepat sasaran, dan kalaupun ada, lebih membuat mereka sebagai human passengers yang hidup dalam ketergantungan dan kemiskinan berkelanjutan.
Pandangan baru menyebutkan mereka harus dipandang sebagai kelompok bukan tidak memiliki apa-apa, melainkan sebagai kelompok yang memiliki sesuatu. The poor is the have little. Mereka punya tenaga, otak yang waras, kesehatan (meski tak sesempurna kelas menengah), kegigihan, adat budaya, tanah (meski sedikit), sahabat dan sebagainya. Nah, orang-orang yang saya sebut gila ini, di AKSI (Asosiasi Kewirausahaan Sosial) menjadi sahabat-sahabat mereka untuk memberi kekuatan dengan jaringan dan inisiatif agar masyarakat semakin mandiri. Kalau kita perhatikan, perekonomian sektor informal Indonesia saja jumlahnya sudah mendekati seperempat jumlah penduduk nasional.
Mereka juga bisa menjadi mandiri dan berkontribusi kalau semakin banyak orang \”gila\” yang saya sebut diatas yang mau menjadi sahabat kaum miskin. Sektor informal itu, bagi Bambang Ismawan bukanlah the have not, melainkan kelompok ekonomi yang aktif. Saatnya bagi Indonesia memperbaiki cara pandang, mendidik lebih banyak manusia yang punya kepedulian dan empati, dan mau mendengarkan yang tak terdengar.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan