Judul di atas adalah bahasa inggris, tapi huruf “o” tidak dibaca “o” seperti oncom, melainkan berbunyi “u” seperti usus. Jadi baca saja “luser”. Loser adalah julukan bagi orang-orang yang kalah, bukan karena lemah atau tak berdaya, melainkan sikap mental yang dibuat sendiri. Kadang, ada juga kontribusi lingkungan yang membentuk seseorang menjadi loser, tetapi sebagai manusia kita punya pilihan, punya sikap: ingin menjadi winner (pemenang) atau membiarkan diri terpedaya oleh sikap yang bermuara pada kekalahan demi kekalahan.
Beberapa tahun yang lalu, Denis Waitley menuangkan gagasan-gagasannya dalam buku terkenalnya: Psychology of Winning. Sejak saat itu, majalah psikologi popular terkenal Psychology Today menurunkan tulisan berturut-turut tentang The Will to Win. Bahkan mengulas tentang keberhasilan Andrew Wiles mengungkap rahasia di balik Fermat’s Last Theorem yang sangat terkenal ( cn = an + bn ) yang hanya tidak berlaku bila n bukan 2. Media pegangan psikolog ini mulai meragukan peran IQ, dan mengangkat pentingnya ketabahan (gritty) dalam menjadikan seseorang pemenang.
Saya kira memahami psychology of loser di Indonesia jauh lebih penting dari pada memahami psychology of winner. Dan ini juga penting bagi para pemimpin dan politisi. Argumentasi yang belakangan banyak menuding tentang bahaya ancaman “liberalism” misalnya perlu melihat apakah kita akan menciptakan manusia-manusia pemenang atau manusia-manusia yang kalah. Apakah orang-orang yang kalah dalam kompetisi karena mereka benar-benar lemah dan terpedaya (sehingga harus dibantu) atau berpura-pura lemah dan sengaja membuat dirinya lemah sehingga benar-benar menjadi loser dan “penumpang” seumur hidup?
Winner
Seperti apakah orang-orang yang menjadi pemenang dalam pertarungan kehidupan ini?
Perlu dipahami pemenang bukanlah orang yang tak mau menerima kekalahan, melainkan orang yang tak pernah berhenti. Itulah yang kita sebut dengan ketabahan, determinasi. Kalau dia jatuh, dia cepat balik., Membal kembali seperti berpuasa di bulan suci ini. Kita selalu mengalami ujian dan dalam ujian itu tidak semua di antara kita orang yang sempurna. Bahkan hasil-hasil studi menemukan, orang-orang yang sangat berhasil (overachiever) ternyata menjalani kehidupan tidak dengan fun, melainkan sangat stress dan terlalu memaksa diri. Akibatnya mereka menjadi selfish (egois) karena hanya memikirkan diri sendiri.
Pemenang menjalani kehidupan penuh semangat, tak mudah putus asa, tidak mengeluh, tidak banyak complain, tidak menyalahkan orang lain (terhadap kesalahannya sendiri), tidak membuat-buat alasan. Ia menjadi bagian dari jawaban, selalu melihat kemungkinan-kemungkinan jalan keluar dari setiap masalah. Selalu ingin membantu orang lain, menjadi role model. Menyatakan “ini mungkin sulit, tetapi rasanya bisa”, dan ketika melakukan kesalahan langsung mengucapkan “sayalah yang bersalah”.
Karena itulah pemenang selalu membuat komitmen, bermimpi besar, berorientasi pada tindakan nyata, berlatih diri, menjadi bagian dari sebuah team besar, mendapatkan kemajuan dan percaya pada spirit sama-sama harus menang. Pemenang yang cerdas melihat prestasi yang besar di depan, argumentasinya kuat tetapi bahasanya sederhana dan lembut. Ia berpegang teguh pada nilai-nilai namun untuk hal-hal kecil rela berkompromi. Mereka mengatakan “sesuatu yang tidak saya inginkan terjadi pada saya tak boleh dilakukan pada orang lain”.
Makanya wajah winner selalu berseri-seri, meski sedang berpuasa ia selalu menjaga agar tak kelihatan loyo, malas, atau mendiamkan diri lusuh dan kurang berbau sedap. Winner adalah orang-orang yang mempersiapkan diri agar bahagia di hari kemenangan.
Loser
Bagaimana dengan loser? Anda tinggal membalikkan saja semua penjelasan di atas satu persatu . Mereka mudah menyerah, selalu mengatakan susah, banyak mengeluh, banyak complain, menyalahkan orang lain atas kesalahan-kesalahan yang ia perbuat sendiri, bahkan senang mencari-cari alasan (making excuse). Meski setiap hari datang terlambat, kalau ditegur bukannya memperbaiki diri, loser selalu punya alasan i untuk membenarkan ketidakdisiplinannya. Akibatnya loser menjadi sulit sendiri untuk berubah atau memperbaiki kehidupannya.
Mereka juga senang menjelek-jelekan orang lain, mempersulit orang yang akan berhasil, berbicara yang buruk-buruk, bertindak yang ngawur-ngawur dan random, membiarkan irama hati menguasai pikiran yang bisa membuat orang lain pusing. Maka tak mengherankan bila ia selalu menjadi bagian dari masalah, dan menolak melakukan tugas-tugas yang tidak ada dalam job descriptionnya. Dan bila seseorang berbicara yang positif mereka akan meradang dan menunjukkan masalah-masalahnya. Dan kalau ia melakukan kesalahan selalu menyatakan “itu bukan karena saya”. Perhatikanlah bahasa mereka dalam banyak milis atau komentar-komentar mereka yang ada pada setiap berita bagus di media-media online. Saya membaca betapa mereka memutar-mutar wawancara di berbagai media online dengan saya dengan klaim-klaim yang sinis. Loser adalah orang yang tahu sedikit tetapi merasa sudah sangat mengerti.
Loser hanya omong kosong, janji-janji, punya skema-skema yang seakan-akan hebat, dan bicaranya orang lainlah yang harus melakukan sesuatu. Ia tidak melihat “gain” (keuntungan), melainkan “pain” (sakitnya) saja. Mereka percaya kalau menang harus mengalahkan orang lain (win-lose). Kata-katanya keras, padahal argumentasinya tidak masuk akal. Hal-hal kecil dipersoalkan, sedangkan yang penting-penting dan bernilai besar dibiarkan hilang.
Maka jangan heran sekalipun cantik atau berfisik ganteng, loser semakin hari semakin tak enak dilihat. Mereka senang lempar batu sembunyi tangan, memakai nama samaran kalau berkomentar. Wajahnya kumuh, auranya tidak ada, sinar matanya menghilang, hatinya kejam, suaranya tidak enak didengar, ilmunya kering, senang menyakiti orang lain dan mohon maaf, ia pandai membuat alasan di bulan suci ini. Ia membiarkan bau aromanya mengganggu orang lain, dan membenarkan bila disiplinnya turun dan tidak produktif. Prinsip mereka: orang lain dulu yang memperbaiki diri baru saya.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan