Banyak pembaca bertanya bagaimana saya bisa begitu dekat dengan Aceh. Jawabannya sederhana saja, ibu yang melahiran kedua anak saya berasal dari Aceh. Jadi tidak mengherankan kalau sejak dulu (termasuk di era konflik) adalah biasa bagi saya berjalan-jalan menembus kota-kota terpencil di propinsi yang bagi sebagian orang sulit dimengerti ini.
Dulu, sebelum Aceh dibangun dengan infrastruktur yang luar biasa seperti saat ini (pasca Tsunami), saya sudah biasa memasuki kota-kota kecil sambil menumpang bis yang sering mogok ditengah hutan, beristirahat di antara ratusan lembu milik masyarakat yang tengah beristirahat di atas jalan beraspal, atau ikut bus yang harus menyebrang sungai yang hanya dapat dijangkau dengan menggunakan rakit-rakit bambu.
Pernah suatu ketika bus berhenti pada tengah dalam di sebuah hutan dan kondektur sibuk memasukkan durian dan ayam hidup ke tumpukan bagasi yang diikat di bagian atas bus. Di situ pula koper berisi pakaian saya disimpan sehingga esok harinya seluruh pakaian saya beraroma ayam campur durian. Namun perlahan-lahan suara orang yang berbicara pun menghilang, semua tertidur pulas. Saat turun dari bus, di tengah hutan itu saya melihat sopir bus pun tengah tidur di pos ronda. Rupanya beristirahat sambil menunggu pagi. Sementara saya masih berharap agar bus bisa segera bertolak dan sampai di Banda Aceh lebih awal.
Jadi saya mengenal betul alam, budaya dan masyarakat Aceh, mulai dari Aceh Selatan, Aceh Besar, Aceh Utara hingga Aceh Barat sampai ke pelosok Pulau Simeulue dari Sinabang, sampai Kampung Air dan Sibigo yang dulu hanya bisa ditembus dengan kapal patroli dan sepeda motor. Itu sebabnya hari Kamis malam lalu saya diminta masyarakat Aceh menjadi salah satu panelis dalam menguji para calon Gubernur di Ballroom Hotel Hermes. Sebagian orang mencemaskan keadaan di Aceh yang banyak diberitakan belakangan ini, yaitu ramai dengan peristiwa teror dan keamanan. Tetapi kalau Anda berada di tengah-tengah masyarakat Aceh maka Anda akan tahu, keadaan sebenarnya tak seburuk yang Anda duga. Saya bahkan sempat kongkow di beberapa kedai kopi langganan saya bersama anak-anak muda dan para akademisi Universitas Syiah Kuala dan IAIN di kedai kopi Solong di Ulee Kareng. Kalau Anda penggemar kopi, mungkin Anda sepakat dengan saya, tak ada kopi yang lebih enak dari kopi di kedai ini.
Rempah-Rempah dan Migas
Bagi saya Aceh adalah tipikal propinsi yang selalu berada dalam pusaran perubahan yang sangat kuat. Bukan hanya badai Tsunami nya yang mengguncang dunia, atau perannya sebagai Serambi Mekah dan pelaksanaan Syariat Islamnya (dengan hukum cambuk), melainkan juga siasat militernya (yang begitu sulit untuk dikuasai siapapun).
Meski bagi sebagian orang, Aceh ditandai dengan karakter manusia yang berbicara spontan dan kadang menyakitkan atau terkesan sinis, mereka adalah orang-orang yang tulus dan jujur mengungkapkan isi perasaan. Bahwa ada di antara mereka yang munafik atau punya agenda terselubung, saya kira dimanapun selalu ada. Kalau anda mengerti mereka, maka Anda akan bisa duduk lepas dan tertawa terbahak-bahak mendengarkan kisah-kisah lucu dan sedih dari kehidupan sehari-hari.
Saya ingin kembali pada pusaran perubahan. Pada Abad ke 16 Aceh sudah menjadi bandar perdagangan rempah-rempah. Pala, lada, cengkeh, kayu manis, kopi dan kelapa mengundang kedatangan Cornelis de Houtman. Di Pulau Simeulue, khususnya di Sinabang, Belanda juga membangun jalan kereta api untuk mengangkut hasil bumi Aceh. Namun sayang, pada akhir abad 20, rempah-rempah telah pudar. Desa-desa yang dulu kaya telah berubah menjadi kantong-kantong kemiskinan. Sekitar 80% dari 900 ribuan angka kemiskinan di Aceh berada di pedesaan yang dulu dikenal sebagai kantong usaha rempah-rempah.
Dari rempah-rempah, Aceh beralih ke migas menyusul ditemukannya ladang LNG di Arun. Ini membuat Aceh menjadi kontributor besar (nomor 4) bagi APBN republik ini. Dan disaat otonomi khusus mulai dinikmati, ladang migas Arun justru sedang memasuki masa pensiun. Dua tahun lagi, pasokan LNG Arun akan habis. Bahkan saat ini saja pabrik-pabrik besar yang 20 tahun lalu menjadi kebanggan masyarakat di pesisir Aceh Utara, sekitar Blang Thupat, kini mulai menjadi bangunan tak bertuan.
Kemana Aceh akan bergerak ?
Inilah pertanyaan besar yang harus menjadi PR bagi Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih yang hari ini nasibnya ditentukan oleh rakyat Aceh. Infrastruktur Aceh secara merata telah berubah menjadi infrastruktur yang luar biasa, tetapi industri besar nyaris tidak ada. UKM nya pun lebih banyak hidup dari sektor perdagangan dan jasa-jasa sederhana. Sapi-sapinya sehat dan mudah diternakkan tetapi industri pengolahan daging tidak ada. Ikan dan hasil laut luar biasa, tetapi industri perikanan belum datang. Kelapa sawit sudah mulai ditanam, tetapi PKS (Pabrik-Pabrik Kelapa Sawit) dan pengolahannya belum tampak. Emas sudah keluar dari perut bumi, tetapi mercury dan cairan kimianya masih dibuang ke sungai tanpa diolah sehingga membahayakan penduduk.
Bagi saya Aceh adalah sebuah propinsi yang menarik. Dari debat pilkada kemarin saya memperoleh kesan Aceh yang damai adalah dambaan rakyat dan para pemimpinnya. Saya berharap anak-anak muda, para wirausahawan-wirausahawan muda Aceh dapat mengambil momentum untuk memperbaharui Aceh dan keluar dari stigma “belum bekerja kalau tidak menjadi PNS” atau “belum menjadi wirausahawan kalau belum menjadi kontraktor”.
Entrepeneurship selalu dimulai dari kejelian melihat masalah dan mengubahnya menjadi suatu kesempatan. Jayalah Aceh, bersatulah Indonesia!
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan