Tentu bukan cuma pemerintah yang mengurusi atau membagi-bagikan subsidi. Hampir semua social entrepreneur yang bergabung di Asosiasi Kewirausahaan Sosial Indonesia (AKSI) juga melakukannya.
Sumber dananya bukan dari pajak atau dari pemerintah, melainkan dari kegiatan usaha yang dilakukan sendiri. Ideologi perubahan sosial yang diusung adalah ideologi kewirausahaan yaitu “Poverty alleviation through entrepreneurship”. Begitulah Bambang Ismawan (Yayasan Bina Swadaya) menggeluti perubahan sosial selama lebih dari 40 tahun. Ideologi ini dijalankan oleh lebih dari 1.000 social entrepreneur Indonesia lainnya yang dengan setia berwirausaha seperti layaknya pebisnis betulan.
Bedanya, mereka menggunakan hasil keuntungannya bukan untuk membeli kekayaan, melainkan untuk mendapatkan senyum di kala tidur. Mereka menggunakan hampir seluruh dividen yang dihasilkan untuk mengatasi kemiskinan. Dalam proses itulah mereka terlibat membagi-bagikan subsidi, baik secara langsung (cash transfer) maupun tidak langsung (infrastruktur, bimbingan, atau barang-barang). Karena tahu betapa sulitnya mencari uang, mereka tidak sembarangan memberikan subsidi. Saya kira pemerintah perlu belajar banyak dari para social entrepreneur dalam “memasarkan” subsidi yang sekarang mulai banyak dicerca itu.
Namun, apalah artinya subsidi yang diberikan social entrepreneur Indonesia bila dibandingkan dengan ketukan palu DPR yang awal tahun ini memutuskan subsidi energi sebesar Rp225 triliun? Social entrepreneur itu bicaranya jauh dari triliunan rupiah. Uangnya tidak sebesar uang negara sehingga diberikan sangat selektif. Kekayaannya juga tidak sebesar konglomerat. Tetapi, mereka melakukannya dengan ikhlas dan entah mengapa kok lebih diterima oleh masyarakat. Kata anak-anak muda, lebih ngefek karena sasarannya adalah perubahan yang riil, impact!
Subsidi Konotatif
Namun, siapa pun yang memberi, subsidi selalu mengandung sisi positif dan negatif. Kata subsidi juga mengandung konotasi yang amat beragam. Bagi penerima subsidi, ia bisa berarti penyelamatan, tapi juga bisa berarti beban karena di dalamnya terkadang tanggung jawab untuk mengatasi sesuatu. Ia juga bisa menjadi musibah karena bisa menimbulkan ketergantungan dan ketidakberdayaan.
Penerima subsidi yang cerdas tentu mengerti bahwa subsidi hanya bersifat sementara, yakni sampai ia bisa terbebas dari himpitan ekonomi. Karena itulah, pendampingan menjadi sangat penting. Sebaliknya, untuk membodohi dan merusak bangsa, jadikanlah bangsa itu penerima subsidi abadi. Saya masih ingat betul saat keluarga saya menikmati subsidi selama kami melakukan studi di Amerika Serikat. Karena memperoleh penghasilan sebagai teaching dan research assistant di University of Illinois, saya tercatat sebagai pembayar pajak. Pembayar pajak berhak mendapatkan subsidi bila kesejahteraannya terganggu.
Subsidi pertama saya terima saat mengurus rumah sewa yang kualitasnya lebih baik, namun harga sewanya disubsidi negara. Anda mungkin berpikir ini adalah negara liberal yang kaya sehingga subsidi tidak ada, atau kebalikannya, subsidi sangat berlimpah. Keliru!! Subsidi di negara propasar ternyata tetap ada, namun pemberiannya sangat ketat, melewati proses seleksi yang amat meletihkan, dan antre selama satu tahun. Subsidi kedua diterima keluarga kami menjelang kelahiran putra bungsu. Juga, setelah melalui proses wawancara yang panjang akhirnya kami menerima bantuan tunai (berupa kupon) untuk melengkapi gizi ibu yang tengah hamil.
Setiap bulan petugas sosial dan kesehatan mendatangi rumah, mencatat, dan melakukan inspeksi apakah betul penerima subsidi masih layak dibantu dan apakah bantuan digunakan dengan layak untuk mencapai objective kesejahteraan. Dengan subsidi, anak-anak kita bisa menikmati gizi yang baik, dan ibu hamil bisa melahirkan di rumah sakit mana saja sejajar dengan mereka yang memiliki asuransi dan membayar sendiri. Apa yang dapat dipelajari dari pemberian subsidi di negara-negara maju? Pertama, subsidi tidak boleh dijadikan alat popularisme pemimpin, baik itu para politisi maupun penguasa.
Subsidi disalurkan melalui lembaga-lembaga resmi dengan prinsip good governance. Kedua, subsidi tidak boleh dilakukan secara massal, apalagi bila ia bisa menjadi substitusi (pengganti) bagi masyarakat yang kaya untuk mengambil hak kaum papa. Subsidi tidak boleh diarahkan untuk menstimulasi perpindahan konsumen mampu dari mekanisme pasar (misalnya pembeli BBM nonsubsidi) yang beralih ke mekanisme subsidi (misalnya ke BBM subsidi).
Ketiga, subsidi harus diberikan secara selektif, dibatasi. bentuk pembatasannya bisa dilakukan dengan cara yang amat variatif, mulai dari diskriminasi produk (seperti obat generik vs obat branded, premium vs pertamax), peraturan pemerintah daerah (seperti yang dilakukan wali kota Samarinda terhadap pemakaian BBM subsidi bagi kendaraan pengangkut hasil tambang), dan sebagainya.
Keempat, subsidi harus dilakukan dengan pendampingan yang cukup. Artinya selain untuk pengecekan kelayakan, barang subsidi juga tidak boleh untuk digunakan di luar dari yang seharusnya. Masyarakat penerima kupon “food stamp” yang diberikan pada kaum miskin di Amerika untuk membeli segala macam makanan minuman misalnya dilarang memakainya untuk membeli bir, minuman beralkohol, dan snack seperti cokelat atau ice cream.
Bagaimana di Indonesia?
Di sini kita saksikan masyarakat dibebaskan menggunakan bensin bersubsidi untuk menikmati hari libur, jalan-jalan ke puncak, kondangan dan kenduri, serta sebagainya. Sedangkan terhadap penerima BLT (Bantuan Langsung Tunai) tidak pernah dilakukan pengecekan bagaimana pemanfaatannya. Di samping kecil jumlahnya, kelembagaannya tidak direncanakan dengan baik, dan bantuan lebih bersifat populis-politis dan hanya sementara. Bantuan atau subsidi seperti ini sangat pragmatis dan miskin ideologi sehingga kurang efektif untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat.
Hanya subsidi yang dilandasi ideologi yang kuat yang mampu membentuk kelas menengah yang kuat, bukan untuk membentuk kaum pragmatis yang terperangkap dalam kemiskinan. Cara-cara yang tidak integratif seperti ini berbahaya bagi masa depan bangsa, membentuk perilaku konsumtif yang tidak adil, pemborosan devisa, menghambat proses pembentukan kesejahteraan yang kita inginkan, dan menciptakan ketidakadilan.
Lantas apa yang dipelajari dari para penggerak sosial dengan basis kewirausahaan? Bagi kami, adalah dosa besar membantu untuk menimbulkan ketergantungan. Manusia merdeka adalah manusia yang terbebas dari ketergantungan. Jadi subsidi yang menimbulkan ketergantungan justru sangat berbahaya bagi pengamalan pasal-pasal UUD ‘45 dan Pancasila. Renungkanlah!
RHENALD KASALI
Founder Rumah Perubahan
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/483523/34/