Saya tengah berada di dalam bioskop, menonton film The Lady, tatkala ribuan tabung gas air mata melesat ke angkasa bak kembang api di depan gedung DPR hari jumat, 30/3 yang lalu. Tabung-tabung gas itu ditembakkan untuk membubarkan demonstrasi mahasiswa yang mempersoalkan rencana kenaikan harga BBM. Di layar lebar, pejuang hak asasi manusia, Aung San Suu Kyi baru saja berujar bahwa “Satu-satunya penjara bagi manusia adalah rasa takut. Dan satu-satunya kebebasan yang hakiki adalah bebas dari rasa takut.”
Hari itu, di jalan raya saya bertemu dengan ribuan orang yang benar-benar merasa sedang kehilangan kemerdekaan. Mereka dilanda rasa takut yang luar biasa akibat keributan politik di gedung parlemen dan demo mahasiswa karena soal harga BBM. Dari dalam gedung parlemen, saya menerima puluhan pesan-pesan pendek yang dikirim dan disebarluaskan oleh para politisi pengecut. Mereka berpura-pura berani menghadapi perubahan, padahal sesungguhnya mereka hanyalah pengecut.
Kenapa saya katakan pengecut? Simpel saja, mereka mengatakan “kekuasaan sumber korupsi.” Aung San Suu Kyi yang sejak kecil hidup dalam tahanan militer mengingatkan kita “Bukan, bukanlah kekuasaan yang menjadi sumber korupsi, melainkan ketakutan. Ketakutan terhadap hilangnya kekuasaanlah yang menjadi sumber korupsi.” Saya kira Suu benar. Orang-orang politik yang takut kehilangan dukungan, termasuk anggota koalisi yang takut kehilangan popularitas telah mengkorupsi keinginan rakyat dengan rasa takutnya yang berlebihan, yaitu takut suaranya hilang pada pemilu yang akan datang.
Menang-Menangan
Lima belas tahun yang lalu, salah seorang Emir terkemuka dari Uni Emirat Arab, Sheikh Muhammad Makhtum al Makhtum pernah berujar: “Ekonomi itu ibaratnya kuda, sedangkan politik adalah keretanya”. Baginya, Dubai menjadi besar karena ekonominya berada di depan politik. Di Indonesia kita justru menyaksikan pertunjukan sebaliknya, kuda di pacu agar bisa berlari kencang di taruh dibelakang kereta bak tukang sate mendorong gerobaknya. Alih-alih berlari cepat, kuda menjadi liar dan tabrak kanan – kiri. Ibarat kuda mabuk.
Suu Kyi mengingatkan lagi. “ You should never let your fears prevent you from doing what you know is right.” Kurang lebih beginilah, “Jangan biarkan rasa takut menghentikan langkah Anda melakukan kebenaran.”
Dalam belenggu rasa takut itu banyak orang telah kehilangan nalar dan bermain dalam game menang-menangan. Game menang-menangan lazimnya hanya dimainkan oleh orang-orang yang bermain untuk kalah. Banyak orang tidak menyadari, saat mereka “bermain” untuk “mengalahkan” lawan-lawan politik atau lawan-lawan bisnisnya, sesungguhnya mereka terperangkap dalam “Win – lose mindset.” Ingatlah, siapapun yang bermain dalam mindset itu, sekalipun merasa menang, sesungguhnya telah bermain untuk kalah. Kalah karena kehilangan kepercayaan, respek dan tentu saja akan menerima pembalasan.
Dalam tontonan televisi tentang pro-kontra kenaikan harga BBM kemarin, rakyat cuma menyaksikan tayangan “menang-menangan”. Semuanya ingin menang dan merasa telah menang, kecuali rakyat kecil. Rakyat kelas menengah tersenyum bisa tetap menikmati BBM murah. Oposisi tersenyum bisa mengalahkan pemerintah. Pemerintah tenang karena demo berhasil ditangani dengan aman. Mahasiswa bilang, “kami telah berhasil menjebol pagar gedung DPR dan membuat presiden ketakutan.” Partai-partai juga tersenyum bisa mengkhianati koalisinya. Sementara rakyat kecil urung mendapatkan bantuan langsung, padahal harga-harga sudah terlanjur naik.
Sungguh, ini bukanlah tontonan politik yang baik dan mendidik. Kalau Anda pernah belajar ekonomi Anda mungkin tahu bahwa strategi kemenangan yang telah terbukti hebat dan akurat bukanlah strategi Win-loose yang diwarnai dengan akal-akalan politik dan penghianatan. Strategi kemenangan yang terhebat adalah strategi Win – Win. Kata Maxwell, kalau Anda menang dan lawan Anda juga ikut menang, maka bangsa ini akan sejahtera kekal abadi. Tetapi bila Anda menang dan lawan Anda kalah, maka Anda hanya menang satu kali saja.
Dan apa kata Suu dalam film The Lady yang saya tonton malam itu? “Jika Anda merasa tak tertolong, tolonglah orang lain.” Ini berarti Anda dan saya punya tugas yang lebih besar dari pada mempersoalkan mereka yang menguasai “kuda-kuda ekonomi” kita dalam bingkai politik menang-menangan. Yaitu, mengulurkan tangan pada mereka yang hidupnya diabaikan politisi. “Anda boleh tak suka berbicara dengan politik, tetapi politik akan berbicara dengan Anda,” Ujar Suu menirukan almarhum Jendral Aung San dalam film yang sangat aspiratif itu. Jadi kalau seseorang penakut, dia tidak akan pernah bisa melakukan perubahan.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan