Saya sedang berada di atas kepulauan Maluku Utara, saat pesawat yang mengangkut sekitar 50 orang penumpang miring ke kiri menghadap matahari yang baru saja terbit. Di sebelah saya duduk anak muda asal Pomalaa, Kolaka, yang dari tadi ribut dengan pramugari yang mempersoalkan tivi datar yang harus ditaruh di kabin belakang. Ia bersikukuh menggenggamnya erat-erat di pangkuannya kendati dilarang. Ia ingin membekapnya seperti ibu yang memeluk tas kulit berlogo LV di pangkuannya.
Dari obrolan dengannya, Ia mengatakan tivi adalah satu-satunya hiburan untuk mengatasi suntuk di tambang. Dari ketinggian ia menunjuk gundukan tanah merah pada bukit-bukit gundul di Pulau Halmahera –yang isi perutnya sudah dikorek, diangkut dengan kapal ke sebuah pelabuhan di China – sebagai kamp kerjanya bersama dengan beberapa pekerja asing.
Di Buli, saya menyaksikan alam yang kaya namun miskin infrastruktur. Lubang sedalam 60 sentimeter, jembatan rapuh, dan hanya jadi mulus kalau diperbaiki perusahaan. Pemda seakan tertidur. Di balai desa, Saya disambut beberapa orang pria berwajah kumuh, mirip preman terminal bus Wonokromo. Di sana saya diminta mengajarkan cara ”naik kelas” pada sekitar 30 orang pemilik warung, petani sagu, dan pengusaha minyak goreng. Ada rasa was-was mengajar di balai desa yang mesin dieselnya berbunyi keras sementara pesertanya berwajah sangar dan jauh dari sentuhan pengetahuan. Namun alhamdulilah, mereka ternyata baik hati, rindu kesejahteraan, dan punya selera humor yang tinggi apalagi setelah saya katakan wajah mereka seperti preman.
Di sebuah Hotel di Sulawesi Tenggara yang menghadap ke laut, saya juga menemui pemandangan serupa. Beberapa pegawai tambang bercakap-cakap dengan pria India pemburu Kakao dan nikel. Yang satu bergelang emas, yang satu memegang Ipad yang sayang sekali tak bisa mengakses data.
Di Berau Kalimantan Timur, setelah berebut naik ke atas pesawat kecil, dari udara saya juga melihat areal tambang bertanah merah pada bukit-bukit yang gundul. Di dalam pesawat saya bertemu orang Malaysia dan China yang bicara soal geologi batuan. Namun begitu mendarat saya menyaksikan sebuah ambulans kumuh yang mengakut orangtua yang tengah sekarat, dengan tabung infus yang sejak tiga jam lalu mengharapkan bantuan agar bisa diangkut dengan pesawat ke rumahsakit pada kota terdekat.
Lexus and Olive Tree
Beberapa tahun yang lalu, jurnalis senior Thomas L Friedman menulis buku Lexus and the Olive Tree yang pada awal abad ini menjadi buku bacaan wajib di program doktoral ilmu manajemen FEUI. Ia mengatakan, dunia baru yang ditandai oleh globalisasi selalu ditandai oleh pertarungan dua kepentingan, yaitu antara mereka yang mengejar kekayaan (the Lexus) dan mereka yang masih bertempur mempertahankan identitas lama (pohon zaitun, the Olive). Friedman melukiskan globalisasi dari pengalamannya menikmati sushi di atas kereta api secepat peluru di Jepang, sementara bacaannya adalah konflik tiada akhir di Timur Tengah. Konflik yang mempertahankan old identity, seperti petani di Mesuji, atau petambang di Bima dan para pemburu yang kehilangan lahan di Papua dan Kalimantan.
Untuk konteks Indonesia, kita ganti saja pohon zaitun itu dengan Minyak Kayu Putih yang tumbuh alami di Pulau Buru. Seperti itulah mungkin pertarungan yang tengah dialami bangsa ini. Dalam satu keranjang persoalan kita mempersoalkan subsidi untuk petani yang hanya dinikmati pabrik pupuk dan petinggi partai, namun membanggakan ekspor kekayaan alam besar-besaran dengan pertumbuhan yang mengesankan.
Di atas tanah yang kaya ini, kita tak menyaksikan pemandangan berbeda dengan yang sehari-hari tampak di lembah Yerikho tak jauh dari Yerusalem yang saya lihat akhir tahun lalu. Orang-orang tua berjanggut panjang dengan wajah bersahaja menunggang seekor keledai sambil menarik gerobak berisi buah tomat segar. Sementara lima kilometer di sebelahnya, di Yerusalem, kelompok Yahudi kaya dengan janggut yang tak kalah panjang, dengan jas dan topi hitam menjulang tinggi menenteng istri mengenakan gaun dari bahan fur yang sangat mahal, yang tengah hamil sambil membawa buku matematika dan sebuah biola.
Pemandangan serupa saya saksikan di China sepuluh tahun yang lalu, atau di kota Namlea – Pulau Buru yang memiliki masjid dengan kubah biru muda yang begitu indah di kantor Bupati, namun penuh kemiskinan di tanah Wailo tak jauh dari ribuan hektar pematang sawah Savana Jaya yang dulu dibangun para tapol. Di kota, para pejabat menggenggam ponsel terbaru dan asyik mengkoleksi mobil Pajero. Sedangkan pada jarak kurang dari 1 jam bersepeda motor dari Namlea saya menemukan tak satupun penduduk aseli yang memiliki pacul untuk berkebun coklat. Penduduk aseli masih menenteng parang dan beberapa bilah anak panah dengan ribuan ekor sapi yang kurang perhatian.
Indonesia di awal abad 21 tak ubahnya dengan Israel di awal abad ini, atau China sepuluh tahun yang lalu. Keduanya sudah dikenal sebagai bangsa yang hebat dan kita berharap Indonesia pun menyusul. Dalam mengejar itu, kita tengah bergulat antara mempertahankan identitas dan nilai-nilai lama yang mulai luntur kebaikan, dengan nilai-nilai baru yang datang terlalu keras dengan semangat kompetisi dan teknologi digital, dan ingin cepat kaya.
Kata Friedman, di era yang berubah cepat dan sarat kebohongan serta nilai-nilai yang buruk ini, para pemimpin besar hanya diberi sedikit pilihan, yaitu bagaimana membangun keluhuran dari identitas lokalnya dengan memahami secara mendalam makna dari globalisasi. Katanya, \”if you can\’t see the world, and you can\’t see the interactions that are shaping the world, you surely cannot strategize about the world.\” Makanya banyak bangsa sulit keluar dari perangkap kemiskinan. Mereka hanya bergerak-gerak saja, berselancar dalam peta ekonomi macro yang jauh dari geliat rakyat.
Macro economy yang jauh dari peta kemiskinan riil, ditambah bergerak tanpa filosofi strategi hanya membuat bangsa-bangsa besar jalan di tempat. Ia menandaskan, \”you need a strategy for how to choose prosperity for your country or company.\” Dan ini diaminkan oleh guru besar ilmu Strategi Pankaj Ghemawat yang beberapa waktu lalu datag ke sini. Ia mengatakan Indonesia harusthink BIG, Boosting Indonesia Growth. Dan untuk mem-boosting growth itu, kata Michael Porter (Harvard), Indonesia butuh banyak perusahaan dengan sophisticated management.
Apakah main keduk sumberdaya alam, atau kalau jadi wirausaha muda hanya hanya asyik bermain di kuliner dan gemar mewaralabakannya sebelum untung (syarat 5 tahun operasi, produk unik, merek kuat dan sudah untung tak dipenuhi) juga mencerminkan dari keengganan membangun company with a sophisticated management?
Pengambil dan Penghindar Resiko
Dalam situasi yang bertempur antara the lexus and the olive di sini, tanggal 15 Desember lalu Indonesia mendapat oleh-oleh yang diantar oleh Fitch Ratings yang anda sudah dengar semua apa adanya. Dalam situasi itu, lagi-lagi kita berhadapan dengan proses globalisasi yang menakutkan sebagian orang namun tak bisa dihindarkan. Banyak orang gembira karena ini berarti Indonesia telah keluar dari satus “junk bonds” (alias surat hutang beresiko tinggi, non investment grade, menjadi investment grade).
Namun siapakah sesungguhnya yang datang bermain dalam sektor keuangan dan investasi di sini dengan berpatokan pada rating global terbitan Fitch, S&P atau Moody’s? Saya kira jelas, mereka adalah para penghindar resiko yang tidak mencari margin yang besar. Cukup moderat saja, yang pasti aman. Padahal di sisi lain, lebih dari 10 tahun, investor yang datang ke Indonesia dan turut membentuk DNA bangsa ini adalah investor pengambil resiko. Mereka inilah yang telah membuat kita hidup dalam paradox: explorasi-exploitasi, uang panas-governance, tumbuh cepat-prudent, profit-control, sustainability sekaligus merusak alam.
Dalam situasi seperti ini, pantas kalau banyak orang yang merasa confused. Indonesia ini sedang menjadi kaya, atau sedang menjadi miskin? Bapak Soa di Wailo Pulau Buru mengatakan penduduknya punya kebun lima hektar, pohon kakao 300, sapi tiga puluh ekor, namun anak-anak mereka tak bisa bersekolah dan kalau sakit cepat mati. Bagi The Fitch harta sebanyak itu mungkin berarti kaya, tapi bagi Bapak Soa, itu berarti miskin.
Demikianlah paradox ekonomi, saat rating the Fitch diumumkan, banyak orang senang, tapi wirausahawan sejati berpikir lain. Rating itu bisa berarti aset semakin mahal di sini. Di atas pesawat Garuda yang membawa saya dari Jayapura ke Sorong, duduk seorang pengusaha nasional yang menguasai bisnis di Indonesia Timur. Kala sebagian besar politisi marah karena Papua diabaikan, ia justru melihatnya sebagai peluang. ”Ini saatnya membeli pesawat kecil di Eropa, bukan beli dari sini. Saat di sana dilanda krisis kapal-kapal di Eropa dilego seperempat dari harga normal,” ujarnya.
Ia pun membeli sebelas pesawat untuk bisnis logistik di Timur. Kata pedagang ponsel di Jayapura, dua tahun yang lalu mereka diberi tips seratus ribu rupiah untuk menyeeting setiap ponsel yang dibeli pelanggannya. Kini tips nya bisa dua juta rupiah. ”Mencari uang limaratus ribu rupiah di Jayapura itu biasa sehari-hari,” ujarnya. Tetapi orang Papua juga hidup dalam paradox, ”Tak punya uang tidur di kamar di atas kasur, punya uang tidur digot bersama miras.”
Jadi apa artinya rating global kalau tak pandai mengambil posisi? Makanya, jangan duduk diam di belakang kursi bertingkah seperti juragan tua atau ambtenar. Datang-kunjungi-bicara-dengarkan- ambil posisi dan lakukan secepat kilat di lapangan. Tapi kalau mau selamat, jangan kubur nilai-nilai luhur untuk hadapi tahun-tahun yang paradox. Hanya orang yang berhati bersihlah yang bisa melihat kebenaran. Ayo bangun!
Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia