Demo-demo besar yang melanda berbagai negara di Eropa dan Asia beberapa hari ini menimbulkan pertanyaan besar di sejumlah kalangan. Demo itu berawal dari Madrid, Spanyol yang mempertanyakan moralitas para kapitalis dalam krisis ekonomi. Serangan yang lebih spesifik ditujukan kepada para pengejar kekayaan di Wall Street yang dianggap menjadi biang keladi dari seluruh masalah.
Di Afrika, para penggerak ekonomi solidaritas (sebutan lain bagi Sektor Ketiga) mempertanyakan apakah kapitalisme masih menjadi model yang tepat untuk mengelola ekonomi di abad ke-21? Kalau Sektor Kesatu (APBN) dikuasai para politisi korup dan terbelenggu birokrasi yg kusut, apakah Sektor Kedua (para kapitalis yang menguasai Wall Street dan pasar) masih punya hati untuk berbagi?
Bila pertumbuhan ekonomi suatu negara kalah cepat dengan pertumbuhan gap kaya-miskin, dan pemerataan ekonomi gagal ditegakkan, maka di situlah muncul bahwa signal virus kapitalisme yang berbahaya telah mewabah. Ini berarti Sektor Pertama dan Sektor Kedua telah bersekutu, mengeruk kekayaan rakyat yang berbahaya bagi kesejahteraan dan kedamaian abadi.
Virus Kapitalisme
Kapitalisme juga menghasilkan virus-virus pembunuh yang tak kalah berbahayanya dengan flu babi. Virus itu muncul dari pergolakan pasar modal dan sektor keuangan yang rapuh, serta gagalnya masyarakat menjaga tata kelola yang harus menjadi pegangan peardaban abad 21.
Pada saat itulah kelompok yang memegang kekuasaan membiarkan dirinya terlibat dalam conflict of interest. Saat sektor keuangan lebih mementingkan keuntungan-keuntungan jangka pendek dan menekan perusahaan-perusahaan publik untuk terus untung dengan rasio-rasio keuangan yang progresif, maka dapat berakibat tak ada lagi CEO dan entrepreneur yang menjaga hubungan jangka panjangnya dengan para pekerja. Perusahaan-perusahaan memilih jalan out sourcing dan kontrak-kontrak jangka pendek dengan para pekerjanya dan mengecilkan perusahaan pada mata rantai yang sempit. Buruh akan sulit mencapai hidup sejahtera, dan komunitas-komunitas adat makin terpinggirkan.
Buruh-buruh membalas dengan tindakan-tindakan radikal dan orang-orang yang tidak produktif memilih jalan sebagai pemimpin gerakan. Rakyat melawan, tanahnya hilang, padinya tak bisa tumbuh karena irigasinya hancur dan racun-racun kimia disemprot Sektor Kedua secara tak bertanggungjawab di lahan-lahan pertanian dengan pemasaran yang sangat menggoda.
Alam disedot habis-habisan dalam volume yang sangat besar agar kinerja keuangan tampak menakjubkan. Politik kekuasaan manerima kontribusi terbesar. Uang itu dipakai untuk menutup mulut politisi dan pembuat kebijakan. Sementara para politisinya membisniskan kekuasaan. Sebagian kecil dana lainnya lari ke agency-agency komunikasi periklanan untuk memoles citra bahwa mereka patuh hukum, membangun green ecosystem, dan seterusnya.
Bukan hanya itu, sumber-sumber daya alam yang vital seperti energy mereka jadikan kertas yang bisa diperdagangkan di sektor keuangan, lalu dispekulasikan sehingga harganya melambung terus sampai harga-harga komoditas beringsut naik mengikuti harga kertas spekulasi itu. Konsep ekonomi mereka jungkir-balikkan dan menderitalah umat manusia. Wajar bila jurang kaya-miskin semakin lebar dan kapitalisme berada di ambang kehancuran.
Ekonomi Kemanusiaan
Konsep ekonomi kerakyatan yang sudah lama dikembangkan di sini sebenarnya penting untuk didengar kembali. Hanya saja, konsep ini miskin contoh dan hanya diucapkan orang-orang yang tidak menjalankannya dalam kehidupan riil. Namun belakangan, Ekonomi Kemanusiaan akhirnya muncul dengan daya ungkit yang lebih kuat karena didorong pelaku-pelaku ekonomi kerakyatan yang berbuat. Moh Yunus, di Bangladesh menjadi role model dengan Grameen Bank. Di India, konsep ini dikenal sebagai joint sector. Di Jepang dikenal dengan sebutan Daisan Sekuta (perusahaan yang melakukan investasi pada sektor publik dan swasta), di Inggris disebut Sektor Ketiga, dan di Amerika di sebut Non-Profit Company seperti yang dilakukan oleh Salvation Army atau Feed The Children,
Modelnya amat beragam, namun sektor ini muncul sebagai bentuk solidaritas. Modalnya bisa berasal dari kekayaan individu yang dipisahkan, bisa juga dari negara namun dikelola oleh swasta dan dipertanggung jawabkan kepada negara. Itulah yang kami lakukan di Rumah Perubahan dan itupula yang didengungkan oleh para Social Entrepreneur.
Di Israel, ekonomi kemanusiaan telah memberi kontribusi sekitar 12% GDP negara itu. Salah satu pemain yang sangat dihormati adalah United Hatzalah dan Yad Sarah yang bergerak di sektor kesehatan. Di Irlandia, kontribusi sektor ini sekitar 8,8% dari GDP, sedangkan di Amerika sekitar 10%. Mereka digerakkan aktivis-aktivis sosial berjiwa bisnis, melakukan kegiatan pemasaran yang tak kalah dengan Coca-Cola, namun sama sekali tidak ada agenda RUPS yang membahas pembagian deviden. Seluruh deviden dipakai untuk memperbesar operasi usaha, menolong lebih banyak orang dan member pekerjaan yang bermartabat.
Bagaimana di Indonesia? Di sini kami tengah berjuang membangun eksistensi dengan menggerakkan kekuatan orang-orang yang terpanggil. Jadilah kiparah para social entrepreneur. Ada tuna netra, tuna daksa, petani, pemilik Bank Tani, guru, dosen, dan rakyat biasa. Semua orang yang ingin berbagi, turun menyelamatkan perekonomian. Kecil-kecil, tapi kalau jumlahnya banyak bisa memperkuat solidaritas.
Kalau kita ingin negeri ini terbebas dari krisis, maka negara harus memberi porsi lebih besar bagi tumbuhnya Sektor Ketiga ini. Sektor Ketiga juga membayar pajak, tetapi tidak berpolitik dan jauh dari niat memperkaya diri karena urusan duniawinya sudah selesai. Semakin banyak negeri memberi uang bagi kapitalisme rakus, maka semakin terancam negeri oleh badai krisis. Tapi memberi lebih besar ruang pada ekonomi solidaritas akan memberi lebih banyak keadilan dan pemerataan.
Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia