Bekerjasama dengan Pertamina, minggu ini saya sedang menjamu 100 orang guru Indonesia. Bapak John, guru SMA 1 Braur- Sorong. Ibu Hastuwo, guru SMU Negeri 1 Batui Luwuk – Sulawesi Tengah, Pak Pudyo Laksono SMA Negeri 3 Prabumulih Sumatera Selatan, Ibu Vroke Djois Mamesh guru SMA Negeri 1 Tompaso-Manado, Kang Usep Sudrajat SMA Malayu 17 Kamojang, Ibu Siti Maria Ulfah guru SMA Negeri 1 Tanjungbumi Madura, dan seterusnya.
Sebagai Powerhouse Indonesia, Pertamina layak terbebani membangun kembali semangat kebangsaan melalui peningkatan kompetensi para guru-guru. Saya sendiri berpikir program yang kami buat adalah program merajut kembali Indonesia. Di Rumah Perubahan mereka tidur beramai-ramai bergaya tatami. Beda benar dengan di hotel yang memisahkan mereka dalam kamar-kamar dan tenggelam dalam lamunan masing-masing.
Saya jadi teringat sejarah kebangsaan Indonesia saat para pendiri dan pelopor bangsa ini merajut helai demi helai keIndonesiaan yang kita nikmati dewasa ini. Mereka merajut DNA melalui satu bahasa, yaitu bahasa Indonesia. Dan sekarang penelitian-penelitian dan best practise dalam corporate change menemukan, betapa bahasa menjadi unsur genetika yang sangat penting untuk merajut pembaharuan. Tanpa rekayasa bahasa, corporate culture yang responsif dan adaptif tak akan terbentuk. Dan seperti yang saya tulis minggu lalu, corporate DNA menjadi penentu yang penting. Bahkan banyak eksekutif yang membiarkan DNAnya “ngawur-ngawuran”, padahal ia ingin mencapai hasil besar berkelanjutan. Berhasilkah seorang eksekutif membangun gedung tinggi tanpa fondasi yang memadai?
Bahasa Genetika
Anda mungkin pernah membaca kalimat ini: “Everything happens through conversation”. Conversation atau percakapan yang dimaksud, dilakukan melalui bahasa, dan bahasa adalah penghubung yang membentuk persaudaraan atau konflik, bekerja atau menganggur. Bahasa adalah link yang menciptakan komunitas, budaya, dan masa depan.
Kata Judith E. Glaser, penulis buku Creating WE – buku bisnis terbaik pada tahun 2005 – “Bahasa – lah yang membuat kita mampu menangani keruwetan-keruwetan (complexity) dan keragu-raguan (ambiguity). Bahasalah yang mengantarkan manusia tumbuh dan berevolusi, saling mengajarkan tentang apa yang kita ketahui”
Maka orang-orang yang berdialog dalam kesamaan bahasa, definisi dan “meaning” adalah sebuah komunitas. Adalah bahasa yang membuat sebuah perusahaan produktif dan pegawai-pegawainya bersatu. Namun juga karena bahasalah atasan dan bawahan saling bertentangan, atau serikat-serikat buruh berkonfrontasi melawan manajemen. Bahasa yang baik mempersatukan dan menumbuhkan. Bahasa yang buruk memecah belah, menimbulkan keragu-raguan dan kebencian.
Menjadi pertanyaan bagi saya mengapa belakangan ini kita mengalami begitu banyak konflik? Bagi saya sumbernya, maaf, juga adalah karena masalah bahasa. Coba perhatikan konflik antar kelompok agama pada etnik yang sama atau berbeda di Ambon maupun di Poso. Bukankah masing-masing kelompok bicara dalam “bahasa” yang sama dengan “meaning” dan “definisi” yang berbeda?
Saya juga melihat orang-orang politik yang berkuasa di pemerintah dan parlemen, walaupun partainya sama dan membentuk apa yang mereka sebut “koalisi” ternyata berbicara dengan “bahasa” yang berbeda.
Ini sekedar memberi contoh saja, dan perbedaan-perbedaan serupa ada pada korporasi. Sebab bahasa bukanlah sesuatu yang netral. Bahasa men- trigger reaksi, baik yang terlihat maupun yang terselubung. Betapa sakitnya hati kita saat mengetahui hal-hal yang terselubung telah “menjerat” kita hanya karena tidak mengerti. Kadang-kadang kita hanya berpikir atas apa yang diucapkan.
Kata Glaser, kita mendengar dengan “speaker” I-Centric, yaitu “how it will impact me” daripada “We Centric”, yaitu “how it will impact to all of us.” Suatu bangsa atau komunitas telah berubah menjadi sosok-sosok yang sangat individual, bila mereka lebih mementingkan “apa akibatnya bagi saya pribadi” daripada \”apa akibatnya bagi kita semua\”
Maka merajut DNA kebangsaan adalah merajut masa depan melalui bahasa kebangsaan, yaitu bahasa persatuan. Dan “rasa” yang dibangun adalah rasa “We – Centric” (Kami sebagai pusat, bukan saya) yaitu “apa yang akan menimpa kita semua\” kalau ya melakukan atau mengatakan seperti ini.
Glaser menambahkan, “ketika kita mendengarkan, reaksi kimia akan terjadi dalam tubuh kita, dan mempengaruhi pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan yang akan kita ambil.” Bahkan kata-kata yang menyakitkan atau membuat tak berkenan dapat melumpuhkan otak, menghalangi kemampuan mengakses jalur-jalur keputusan strategis yang biasanya mudah kita lewati. Padahal dalam keadaan normal, manusia bisa berpikir sedemikian cerdik dan mengambil langkah-langkah strategis.
Percakapan bisa membentuk teritori. Dari percakapan pula kita menyimpulkan si A adalah “kawan” sedangkan si B bukan. Beberapa orang bisa menyimpulkan tempat bekerjanya sebagai teritori di luar dirinya yang menghimpit sedangkan yang lain melihat tempat bekerja yang sama sebagai lingkungan yang bersahabat dan mendukung. Maka kata para ahli, kita memasangkan bingkai, dan pemimpin-pemimpin perubahan harus menggunakan bahasa sebagai bingkai masa depan. Menjadikan bahasa sebagai genetika pembaharuan adalah membuatnya menjadi semacam motor penggerak untuk menciptakan lingkungan psikologis yang produktif setiap hari.
DNA Perubahan
Dalam bukunya yang berjudul “Living with our genes,” Copeland & Hamer (1998) menunjukkan bahwa DNA tidak mendikte masa depan seseorang, melainkan ia berinteraksi dengan alam di sekitar manusia itu berada dan dengan respon-respon yang muncul dari individu-individu yang terpengaruh oleh suatu keadaan.
Dalam change management, para eksekutif perlu merumuskan interaksi-interaksi dan program-program sosialisasi dengan rumusan DNA yang tepat agar membentuk kesamaan “meaning”. Bahasa adalah alat perubahan yang penting, yang perlu direkayasa untuk membentuk new corporate culture. Tentu yang saya maksud dengan corporate culture bukanlah melulu dunia korporasi, melainkan segala kegiatan yang memiliki business process.
Banyak pekerjaan rumah yang masih harus kita kerjakan. Intinya, masyarakat dan eksekutif perlu memahami bahwa kemampuan lembaga melompat ke tahapan berikutnya ditentukan oleh kualitas-kualitas hubungan dan bahasa yang dipakai para eksekutif dalam memberikan arahan dan pekerjaan. Itulah yang kita sebut percakapan.
Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia