Karisma Kamboja – Jawapos 3 Oktober 2011

Setiap ke Bali, saya selalu menyempatkan diri mengekplorasi sudut-sudut Ubud. Maklum, di sanalah saya menikmati masa-masa “bulan madu” 22 tahun lalu. Ubud yang sepi, kini telah tumbuh menjadi desa pariwisata yang ramai.

Namun demikian saya tetap mencari kebersahajaan. Menelusuri tepi-tepi sawah, berbicara dengan para petani, dikawal teman-teman lama yang kini telah menjadi pedanda (tetapi sekarang saya hanya dikawal anak-anaknya yang telah tumbuh menjadi remaja-dewasa), dan menelusuri punggung-punggung anak sungai yang membelah dua di tepi Pura Gunung Lebah.

Dari depan Puri Ubud saya melanjutkan perjalanan ke Desa Bentuyung. Di dekat bungalaw Matahari, kami keluar dari kendaraan roda empat, menelusuri sawah-sawah yang masih terawat baik. Beda benar dengan sawah-sawah di Pulau Jawa yang lumpurnya mengering dan telah dipusokan, sawah-sawah di Ubud masih basah dan indah. Kami berjalan kaki sejauh 2 kilometer, menyusuri rumah-rumah di tepi hamparan sawah milik orang-orang asing yang dikelilingi satu-dua kedai lukisan.

Di antara pematang-pematang itu kami beristirahat di Warung Bodag Maliah – Sari Organik yang meramu tanaman-tanaman bebas pestisida menjadi menu yang nikmat, “The Overflowing Basket Organic fresh Health Food and Drinks.” Di dalam warung yang membelakangi pesawahan yang luas itu sudah duduk beberapa pasang tamu berkebangsaan Barat dan Jepang. Dan semakin siang semakin ramai.

Heran juga saya, bagaimana orang-orang asing bisa menemukan tempat yang sangat tersembunyi ini. Apakah karena harga, letak warungnya yang eksotis meski sederhana, atau mungkin tag-linenya, “Growing Chemical Free Vegetable & Rice – Experimentation Station for Farming ang Food Processing.”?

Tak jelas benar, tetapi belakangan saya mendengar, warung ini telah direkomendasikan oleh sejumlah airlines magazines (majalah-majalah penerbangan) sehingga mendorong para guide membawa turis-turisnya ke sana.

Dari warung organik kami menelusuri pematang-pematang sawah yang berakhir persis di seberang  museum Antonio Blanco. Dari sana saya berbelok ke kanan melewati Pura Gunung Lembah dan singgah di rumah sahabat saya, keluarga Puri Ubud yang akan melakukan upacara penempatan rumah baru. Tiga kakak-beradik yang kompak menyambut saya, yang pertama adalah Bupati Gianyar, seorang lagi pengusaha, dan yang bungsu Dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Udayana.

Kami berbincang-bincang mendiskusikan rumah baru yang eksotis. Kali ini perhatian tertuju pada beberapa pohon kamboja (Jepun) yang telah menyatu dengan batu-batu besar, patung-patung yang dibuat di tempat, kolam ikan dengan air yang berputar, sebuah tempat ibadah dan bangunan utama di bagian tengah. Dengan penataan yang sempurna, pohon kamboja berusia ratusan tahun itu kini tampak “hidup” dan mengalirkan kharisma.

Setahun lalu, saya menyaksikan sendiri betapa sulitnya memindahkan pohon-pohon besar itu. Akarnya hanya sedikit, daun-daunnya jarang, tetapi diameter batangnya sangat besar. Sama sekali saya tidak melihat keindahan di balik fisik pohon tua itu. Pohon-pohon itu diburu sendiri oleh sahabat saya dari beberapa desa di sebelah utara Bali. Konon di Jakarta, harga pohon kamboja tua seperti ini bisa mencapai lima puluh sampai seratus juta rupiah.

Bagi orang Bali, pohon kamboja adalah pohon yang sakral, bunganya sering dipakai untuk beribadah, dan pohon itu sendiri melambangkan kesucian. Namun di tengah-tengah perbincangan, saya menjadi ingin tahu mengapa pohon-pohon berusia ratusan tahun ini semakin sulit didapat. Bahkan seorang teman di Jakarta pernah menitipkan agar dicarikan ke desa-desa dan bersedia membayar ratusan juta rupiah.

Di beberapa tempat penampungan tanaman di tepi jalan Bypass – Denpasar saya menyaksikan beberapa pohon kamboja berusia belasan tahun yang siap diangkat, tentu saja harganya sudah belasan juta rupiah. Tetapi diameternya masih kecil-kecil dan bagi orang Bali, mungkin kharismanya belum kelihatan. Orang-orang yang memburu tanaman ini umumnya datang dari kota-kota besar di Pulau Jawa.

Tetapi yang menarik perhatian saya, dari mana pohon-pohon itu kini didatangkan? “Dari mana lagi Pak? Jelaslah kami mendapatkannya dari kuburan-kuburan tua di Pulau Jawa,” Ujar seorang pemasok. Lho, kok dari Jawa dipasarkan di Pulau Bali, lalu dibawa kembali ke Jawa?

Bukan hanya pohon kamboja, ternyata patung-patung dan barang-barang kerajinan yang Anda sering beli di Bali ternyata banyak berasal dan dibuat dari desa-desa di sekitar kota Jogya-Salam dan Sleman. Namun, kekuatan Bali sebagai charismatic tourism place tentu saja memberi berkah bagi banyak orang, dan Anda pun bisa memanfaatkannya. Bahkan pohon kamboja yang dianggap seram di kuburan-kuburan tua pun di Jawa kini jadi punya kharisma setelah dibawa ke Bali.  Itulah kekuatan ekonomi yang dibangun oleh orang-orang yang kelebihan uang yang mencari sensasi dan kharisma dari alam. Tetapi Bali memberi lebih dari sekedar sensasi yang tak bisa didapat dari tempat lain. Kalau sudah sensasi, kuburanpun bisa dijadikan hotel yang mahal. Saya pernah menemukannya, tetapi tamu hotel tidak menyadarinya, karena lampu-lampunya terang dan pohon-pohon bambu telah dibersihkan dengan suasana yang benar-benar nyaman.

 

Rhenald Kasali

Guru Besar Universitas Indonesia

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *