Negeri ini membutuhkan lebih dari sekadar pemimpin, melainkan pemimpin yang efektif.Pemimpin yang efektif menyumbangkan dan mewariskan hasil, pemimpin yang tidak efektif menyedot hasil.
Pemimpin yang efektif memfokuskan pikirannya untuk kegiatan- kegiatan produktif dan mendapatkan respek dari bawahan serta pengikut-pengikutnya. Sebaliknya,pemimpin yang tidak efektif kehilangan respek dan setiap hari hanya disibukkan mengurus konflik dan kekuasaannya.
Celakanya, baik yang efektif maupun tidak, sama-sama ditiru orang. Mungkin itulah yang tengah dirasakan sivitas akademika Universitas Indonesia (UI), tatkala mereka tidak memiliki lagi respek kepada pemimpinnya. Beberapa orang dekat oknum pimpinan itu mengatakan telah terjadi skenario ”penggulingan”.
Sewaktu membaca dokumen propaganda yang disebarkan seseorang tentang skenario karangannya itu saya hanya bisa geleng-geleng kepala. ”Sudah tidak efektif lagi, mengapa harus bertahan?” Suatu ketika hal seperti ini mungkin juga akan terjadi pada Anda,para calon pemimpin.
Tentu Anda juga akan bertanya, benarkah kepemimpinan Anda tidak efektif lagi? Atau lebih penting lagi Anda bertanya mengapa kepemimpinan yang baik bisa berubah menjadi tidak efektif? Anda mungkin saja menyebarkan intel-intel pilihan untuk mencari tahu siapa ”aktor” intelektual yang menggerogoti wibawa Anda.
Tetapi seperti kata sebuah pepatah, ”Kala kita bodoh, kita ingin menguasai orang lain, namun begitu kita pintar, kita ingin mengendalikan diri sendiri.” Kata para ahli, penggerak amarah itu bukan siapa-siapa, melainkan diri kita sendiri.
Lawrence Summers
Pepatah itu disadari benar oleh para rektor yang memiliki integritas tinggi di berbagai kampus di atas muka bumi ini. Tak kurang dari Lawrence H Summers,mantan Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) di bawah Presiden Bill Clinton saat dia menjadi rektor di Harvard University.
Lawrence adalah pemimpin yang hebat dan tegas. Dia punya rekam jejak yang bagus, baik sebagai guru besar ilmu ekonomi di Harvard, di pemerintahan AS maupun di Bank Dunia.Tetapi mohon maaf, kalau sudah merasa hebat, seseorang bisa lupa diri. Dia menjadi sangat arogan.
Oleh pakar strategi Jagdish Seth, arogansi dicatat sebagai musuh pemimpin nomor satu di abad ini. ”Arogansi adalah bagian dari kebiasaan para pemimpin buruk yang merusak dirinya sendiri dan datang bersama- sama dengan penyangkalan dan lupa diri,”ujarnya.
Benar kata Seth, Lawrence H Summers yang sudah kebablasan lama-lama senang berbicara seenaknya, sampai suatu ketika menimbulkan luka yang dalam di hadapan Cornel West, guru besar kulit hitam yang dikatakannya suka mengobral nilai kepada mahasiswa minoritas dan kulit hitam.
Tabungan arogansinya itu terus terkumpul sampai suatu ketika dia mengatakan di forum resmi bahwa ”intrinsic aptitude” dapat menjelaskan mengapa ”sedikit sekali kaum perempuan yang memiliki kecerdasan yang kuat dalam bidang sains dan matematika.”
Pernyataan Summers itu menjadi puncak gunung es dari keangkuhannya,yang mencair seketika,sama seperti hal yang terjadi di UI tak lama setelah Arab News memberitakan bahwa seorang rektor dari kampus terkenal di Indonesia telah mengantarkan gelar khusus bagi raja Arab Saudi yang sudah sepuh.
Pernyataan Summers dan pemberian gelar doctor honoris causa yang diantar sendiri hanyalah pemicu dari 1.001 persoalan yang terjadi selama bertahun-tahun yang mengakibatkan kepemimpinan mereka menjadi tidak efektif. Persoalan yang dihadapi Summers beberapa tahun yang silam diceritakan kembali oleh Gadis Ariva yang email-nya saya terima pekan lalu.
Di Harvard, ucapan Summers menimbulkan kegelisahan di satu fakultas, yaitu Faculty of Arts and Sciences. Sedangkan di UI, tiga fakultas besar sudah mengambil sikap, yaitu Fakultas tertua yang sangat berpengaruh (Kedokteran dan Ekonomi) serta fakultas ”masa kini” (Ilmu Komputer) bersama hampir seluruh guru besar, alumnus dan mahasiswa.
Namun, meski gerakan perlawanan sudah begitu heboh,tetap saja ada orang yang mendiamkannya, dan berpura-pura tidak ada masalah. Tidak begitu di Harvard, kegelisahan para guru besar di satu fakultas saja sudah cukup membuat otoritas tertingginya mengambil sikap.
Guru-guru besar dari Faculty of Arts and Science mengibarkan gerakan ”call for resign” yang disambut mahasiswa dan pihak-pihak yang berkepentingan. Hanya seminggu sebelum Harvard Corporations yang bertindak semacam wali amanahnya di sini menyidangkan kasusnya,Summers segera sadar diri dan minta berhenti.
Dalam pidato pengunduran diri dia berkata,”I looked at the extent to which the rancor had emerged in the Faculty of Arts and Sciences, and I personally had become a larger issue and concluded very reluctantly that the agenda for the university I cared about and my own satisfaction would be best served by stepping down,” Summers,51, said from his office in Cambridge, Mass.,in a 45-minute conference call with reporter….” (Washington Post,22-2,2006).
Kepemimpinan Efektif
Mungkin kita bisa belajar banyak dari para pemimpin kelas dunia, yang sadar betul bahwa mereka harus menjadi rolemodel bagi masyarakatnya. Kemajuan Indonesia di masa depan tentu tidak lepas dari langkah apa saja yang diambil para pemimpin di segala level. Rektor UI, ITB, IPB,UGM dan kampus-kampus lain harap mengerti bahwa Anda tak berada di ruang yang vakum.
Demikian juga para politisi, hakim agung, jenderal polisi, ilmuwan, dan para CEO.Anda berada di depan panggung menjadi role model bagi masa depan bangsa ini. Sebagai role model, seorang pemimpin harus bisa menjaga bahwa kepemimpinannya efektif.Pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang katakata dan perintahnya diikuti banyak orang.
Ketika pemimpin kehilangan respek,tak ada lagi yang mau mendengarkan selain orang-orang yang disuap dan takut kehilangan jabatan. Tetapi sampai kapan mau bekerja seperti itu? Meski hanya dilawan satu fakultas, Lawrence Summers sangat khawatir goalsyang dia canangkan tidak akan berhasil dicapai.
Sedangkan di sini masih ada orang yang tidak peduli dengan kontrak yang telah dia sepakati. Mereka berpikir, semua itu bisa diatasi dengan propaganda dan manipulasi informasi. Supaya efektif sebenarnya pemimpin yang hebat tak perlu bekerja terlalu keras. Cukup beri arahan strategis yang bermutu dan kawal semua itu dengan kerendahhatian, integritas, dan tata kelola yang baik (good governance).
Selebihnya, semua elemen akan bekerja secara otomatis. Jadi, berhati-hatilah terhadap terompet ”call for resign” yang ditiup bukan oleh siapa-siapa, melainkan oleh orang yang memiliki kebiasaan merusak diri itu sendiri. Inilah saatnya bagi pemimpin yang tak efektif mundur dengan baik-baik sebelum alam menghukum makhluk-makhluk yang menentang hukumnya
Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/428093/34/