Peristiwa penganugerahan doctor honoris causa oleh Universitas Indonesia kepada Raja Arab Saudi adalah sebuah cermin yang menggambarkan terputusnya hubungan antara dunia akademik dan masyarakat luas, sekaligus juga peradaban global.
Apakah ini terkait dengan problem politik dan sistem pendidikan di Indonesia secara luas, yang menyebabkan universitas seperti teralienasi dari konteks kemasyarakatan? Apakah salah arah dalam dunia pendidikan kita sudah demikian kronisnya, sampai tak diketahui lagi ke mana universitas akan dibawa?
Mengherankan, UI yang menempatkan dirinya sebagai world class university justru melakukan hal yang bertentangan dengan kepedulian global terhadap isu kemanusiaan. Kecenderungan ilmu pengetahuan global saat ini makin menyatukan pandangan akan pentingnya pendekatan interdisipliner, di mana perspektif kemanusiaan yang dianut bersama di kalangan ilmuwan. Dengan demikian, terbentuklah perspektif dan sensitivitas kolektif bila bersinggungan dengan isu kemanusiaan.
Subyek kajian yang jadi perhatian ilmuwan di dunia saat ini adalah isu migrasi global, yang sarat dengan isu kemanusiaan. Hasil kajian juga diserap oleh badan-badan penting dunia.
Di antaranya isu buruh migran perempuan. Isu ini jadi fenomena umum karena perempuan dari negara berkembang bermigrasi secara masif ke negara lebih kaya, seperti negara Arab Teluk.
Sudah begitu banyak diterbitkan laporan penelitian dan investigasi, buku, tulisan jurnal dari para ilmuwan dan lembaga, baik internasional maupun Indonesia, tentang isu kemanusiaan buruh migran perempuan. Mereka terhalang aksesnya terhadap keadilan karena tak ada hukum yang memadai, ditempatkan dalam struktur paling rendah hierarkinya dalam masyarakat. Secara sosial, mereka terisolasi karena dipandang sebagai identitas liyan, direndahkan, padahal mereka berperan besar dalam ekonomi global, dan memberikan keuntungan bagi begitu banyak orang dalam rantai bisnis migrasi.
Hasil kajian umumnya menunjukkan bahwa negara Teluk, terutama Arab Saudi, adalah yang paling buruk menangani isu kemanusiaan buruh migran. Bagaimana bisa hasil kajian yang jadi kepedulian ilmuwan global dan badan-badan dunia ini diabaikan? Apakah ini berarti (sebagian) ilmuwan Indonesia sudah kehilangan sensitivitas kemanusiaannya? Kehilangan bela rasa terhadap nasib bangsanya sendiri, kaum perempuan yang terlempar dari keluarga dan masyarakatnya ke negeri asing karena negara tidak mampu memberinya pekerjaan?
Di antaranya ada yang menjalani hukuman mati, dipancung, karena membela harga diri dan martabatnya di hadapan majikan. Tidak ada yang membela mereka, bahkan kaum cerdik pandai bangsanya sendiri memberikan ”medali” perdamaian dan ilmu pengetahuan kepada petinggi yang paling bertanggung jawab terhadap malapetaka perempuan dari negara berkembang itu.
Persemaian kemanusiaan
Bangunan model pendidikan dan tradisi ilmu pengetahuan seperti apa yang sedang dipertaruhkan oleh kaum cerdik pandai kita ketika kemanusiaan tak lagi jadi pusat perhatian? Dalam abad ini, paradigma positivis yang berprinsip ilmu untuk ilmu, menjaga mati-matian ilmu harus obyektif, netral, sudah tak laku lagi karena menempatkan ilmuwan di menara gading. Ilmu dibangun dari realitas dan pengalaman kemanusiaan, untuk tujuan reformasi di segala bidang agar dunia lebih layak didiami oleh manusia dan tempat bersemainya peradaban.
Kita paham, dalam merespons globalisasi pendidikan, ada tuntutan agar universitas menyejajarkan diri dengan universitas di dunia agar dapat berkomunikasi, bekerja sama, bahkan berkompetisi. Namun, bagaimana cara menerjemahkan world class university ? Membangun gedung dan fasilitas yang mewah di universitas, semakin menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar, membuka kelas-kelas dual degree yang sebenarnya hanya menguntungkan secara finansial mitra universitas di luar negeri?
Itulah yang adiproblem karena universitas kelas dunia diterjemahkan secara tak esensial. Bukankah seharusnya universitas dunia adalah universitas yang memiliki kurikulum dengan kualitas standar dunia, yaitu materi kuliah dan bacaan yang selalu diperbarui, dosen pandai yang memiliki pengetahuan seluas cakrawala dalam bidang masing- masing, pergaulan intelektual dengan sesama ilmuwan mancanegara dalam berbagai kegiatan ilmiah, dan mementingkan mencerdaskan mahasiswa. Manajemen universitas juga menerapkan prinsip good corporate governance.
Universitas berkelas dunia tetap harus memiliki karakter berbangsa. Universitas seperti di Jepang, China, Korea, dan Jerman umumnya tetap mensyaratkan mahasiswa (asing) menggunakan bahasa mereka, tanpa harus kehilangan esensinya sebagai world class university. Terutama, universitas kelas dunia tetap menjadikan kemanusiaan sebagai inspirasi dan motivasi utama untuk menggerakkan dinamika ilmu pengetahuan.
Sulistyowati Irianto Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia