Anda mungkin pernah membaca buku karya novelis terkenal Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Dari judulnya saja mungkin Anda sudah bisa menyimpulkan bagaimana suasana kehidupan yang terjadi di Pulau Buru.
Pulau yang lebih dikenal sebagai pulau tahanan politik (tapol) ini begitu terisolasi dengan segala kesulitannya. Mungkin Anda berpikir nyanyi sunyi hanyalah nyanyian seorang tahanan politik di era yang serbasulit dan tertutup. Manalah mungkin nyanyi sunyi masih ada di negeri yang perekonomiannya sedang banyak dipuja-puji dunia, dengan gegap gempita korupsi dan demokrasinya ini?
Namun pekan lalu, saat saya melakukan kontemplasi di pulau ini,nyanyi sunyi ternyata masih tetap sama, dan tetap milik rakyat bisu yang jauh dari kemajuan. Ribuan hektare sawah yang irigasinya dulu dibangun para tapol,kebun cokelat, dan tanaman kayu putih masih tetap kaya.Namun,kehidupan belum banyak berubah, selain ingar bingar pilkada.
Di Pulau Buru, Anda juga bisa menyaksikan keindahan Danau Jikumerasa yang dialiri air laut dengan segala spesies ikan-ikan laut yang berevolusi menjadi ikan air payau. Hutan bakau yang menutupi ribuan hektare kebun-kebun cokelat yang tidak terawat terlihat begitu alami.
Dari atas bukit yang tampak gundul, jutaan pohon kayu putih milik penduduk memberikan aroma harum Pulau Buru. Namun, di tengah gegap gempita kemajuan ekonomi di pusat-pusat pertumbuhan Indonesia, rasanya pidato kenegaraan Presiden perlu juga menyentuh masa depan pulaupulau terpencil untuk memberikan kekuatan persaudaraan bahwa kita sebangsasenasib- sepenanggungan.
Akses dari Kemiskinan
Indahnya Danau Jikumerasa ternyata tak bisa dinikmati, bahkan oleh penduduk setempat sekalipun. Saya membutuhkan waktu hampir delapan jam duduk di atas kapal patroli polisi yang membawa saya dari Pelabuhan Ambon.Ada pesawat kecil yang bisa ditumpangi, tetapi hanya terbang dua kali seminggu dan ternyata cepat habis dilahap para pejabat.
Akses yang sulit bukan hanya dimiliki pendatang, melainkan juga penduduk di tepi Kota Namlea yang hidup terbelakang. Jauh di atas perbukitan, saya bertemu buruh-buruh yang bekerja di ketel-ketel penyulingan minyak kayu putih. Mereka tinggal bersama keluarga merebus daun-daun kayu putih yang dikumpulkan para petani.
Seorang pastor yang menemani saya mencurahkan isi hatinya. “Katanya, Indonesia kaya raya.Pohon-pohon ini tumbuh tanpa perlu ditanam dan dirawat.Rakyat di sini berhak mendapatkan kesejahteraan dari kekayaan alam. Tetapi mengapa mereka hidup miskin?” ujarnya. Buruh-buruh itu bekerja 24 jam bergantian, memetik daun, merebus, menjaga api, dan memotong kayu bakar.
Minyak-minyak itu dihargai cukup mahal,tetapi uang yang tersisa sebagai buruh tidak ada. Ketel-ketel itu bukan milik mereka, demikian pula uang untuk memodali pekerjaan, membeli daun, dan kayu bakar. “Jangankan untuk membayar listrik, untuk makan saja mereka hanya bisa membeli garam,”ujarnya lagi.
Suatu sore pastor itu memberi kabar dia harus mengantar seorang anak ke puskesmas. Ke mana orang tua mereka? “Setiap kali orang sakit, orang tua hanya minta didoakan,” ujar pastor lagi. “Saya sempat geram, mengapa tidak dibawa ke dokter? Setiap kali sakit mereka hanya menunggu maut menjemput,”lanjutnya.
Saya berpikir,andaikan ada pembaca yang mampu mendermakan satu saja mobil ambulans, selamatlah anakanak Pulau Buru dari ancaman kematian.Kami juga perlu dokter, obat-obatan, buku, guru, dan sebagainya. Mungkinkah Anda mau terlibat dalam gerakan ini? Semua yang saya lihat itu terjadi karena kemiskinan telah menjerat mereka selama bertahun-tahun.
Tak ada pekerjaan selain menjaga ketel, sedangkan guru-guru hanya mengajar antara pukul 9 hingga 11. Melihat itu semua,birokrasi rutin saja sudah pasti tidak bisa mengentaskan kemiskinan. Apa yang saya ceritakan di atas adalah potret umum yang nuansanya sama di berbagai daerah terpencil. Di seluruh pelosok pulau saya hanya menyaksikan kekayaan alam yang tak tersentuh,akses yang sama sekali tak dimiliki rakyat untuk mengolah kekayaan dan hanya spanduk berisikan slogan kampanye pilkada yang jumlahnya banyak sekali.
Peran Leader
Birokrasi jelas memerlukan breaktrough, dan breaktrough hanya akan datang kalau pulau-pulau terpencil itu memiliki pemimpin. Bayangkanlah bila pulau-pulau itu dipimpin seorang dengan akal budi seperti Lee Kwan Yew. Kita pasti menyaksikan sesuatu yang berbeda. Lee memimpin karena kemandirian, bukan dengan menunggu kabar dari pusat– sebab pusatnya tidak ada di sana.
Berbeda dengan para bupati yang selalu menunggu arahan dan menunggu “sesajen” APBD. Anggarannya ditakar orang lain dan itu pun habis dipakai membiayai administrasi pemerintahan. Pemerintahan daerah di era otonomi membutuhkan lebih dari seorang leader, yaitu cracker. Leader pemerintahan daerah harus meng-“crack”tradisi memerintah, dari sekadar menghabiskan anggaran menjadi menciptakan kesempatan.
Bupati harus mulai bisa membedakan antara good cost (good budget) dan bad cost (bad budget). Good budget dipakai untuk membuka kesempatan dan membangun masa depan, bad budgethanya dipakai untuk konsumsi dan gengsi. Kata orang Ambon bad cost hanya dipakai kaum “parlente”.
Dan tahukan Anda apa yang dimaksud “parlente”? Kawan saya di Ambon menyatakan, “parlente” itu pembohong. Pura-pura kaya, padahal tidak. Jadi para bupati tinggal memilih. Ingin gedung kantornya mewah,namun rakyatnya hidup dalam kemiskinan, atau sebaliknya.
Kalau Anda ke daerah-daerah terpencil,Anda akan menyaksikan kepemimpinan gaya parlente di manamana.Kantor yang megah dengan masjid yang bagus, tapi jauh dari rakyat. Kadang saya bertanya untuk apa rumah ibadah dibangun kalau jauh dari umat. Seorang cracker sudah pasti berpikiran besar. Dia tak hanya berpikir pulau atau kabupatennya sebagai satu kabupaten di antara ratusan kabupaten dengan cara pengelolaan yang sama. Dia berpikir sebuah masa depan yang indah, kaya, dan rakyatnya mempunyai akses pada alat-alat ekonomi.
RHENALD KASALI
Guru Besar Universitas Indonesia
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/421874/34/