Bahasa Tersirat – Jawapos 24 Oktober 2011

Konon, ketika manusia berubah menjadi semakin genit, maka semakin tak tersuratlah bahasanya.  Maksud saya, segala sesuatu yang tersurat tidaklah penting.  Apa yang tersirat dari apa yang diucapkan dan bagaimana sesuatu disampaikan itulah maksud yang sebenarnya.  Mungkin Anda yang pernah menonton film Hitch yang dibintangi oleh Will Smith segera mengerti maksud saya. Smith yang menjadi mak comblang dan mempunyai bisnis perjodohan dalam film itu mengatakan, kalau seorang wanita mengutarakan secara verbal \”aku tak membutuhkan pria,\” atau, \”aku terlalu sibuk untuk berpacaran\”, maka janganlah mempercayainya. \”Bohong!  Itu bohong!,\” ujarnya lagi.  Dan kalau seseorang perempuan menolak seorang pria yang ingin memacarinya untuk berhubungan lebih jauh, maka sesungguhnya  perempuan hanya ingin mengatakan, \”kejarlah aku lebih keras dan lebih serius lagi.\”

Celakanya, semakin berpendidikan dan semakin maju Indonesia, maka kita semua semakin berpegang pada apa yang tersurat.  Hukum, accounting, teknik sipil dan perencanaan, bahkan matematika dan keuangan, semua kita tafsirkan dari apa yang diungkapkan.  Kita tak hidup dalam dunia paranormal, perdukunan atau klenik.  Anak-anak kita juga tak menerima mata pelajaran  Bahasa tubuh selain Bahasa Indonesia, Inggris atau Mandarin.  Hanya jam terbang yang membuat Anda dan saya bisa membaca suatu kebenaran.

Indonesia Yang Berubah
Minggu lalu dalam Forum Hubungan Industrial yang mempertemukan Departemen Tenaga Kerja dengan para Serikat Pekerja BUMN dengan pimpinan-pimpinan BUMN, saya mengungkapkan bahwa Indonesia yang tengah berubah antara lain ditandai dengan bahasa-bahasa tersirat.  Bahan itu sekali lagi saya sampaikan dalam forum komunikasi kehumasan dan pimpinan cabang PT Pelindo yang berkumpul di Makasar hari Jumat lalu.

Itulah yang terjadi dengan konflik-konflik besar yang berakibat chaos, baik antara manajemen dengan serikat-serikat pekerjanya, antara pemerintah pusat dan daerah dengan para \”wakil rakyat\” di parlemen, antara guru dengan murid dan antara wartawan dengan nara sumbernya.  Yang satu memegang teguh dalil hukum formal dan peraturan, yang satunya menggunakan bahasa perhatian.  Bahasa perhatian adalah bahasa yang tersirat, bukan bahasa yang tersurat.  Bahasa itu diungkapkan lewat poster, topeng-topeng, pidato-pidato, rapat dengar pendapat sampai sebuah happening art. Sekali lagi, apa yang diucapkan tidaklah begitu penting, tapi apa yang dimaksud dari kalimat-kalimat yang diucapkan itulah yang lebih penting. Maksud atau niat yang sebenarnya sesungguhnya bukan ada pada kalimat, melainkan ada pada bagaimana kalimat itu disampaikan.

Sementara para pimpinan dan staf yang terpelajar seringkali terperangkap dengan apa yang diungkapkan secara formal, apa yang tersurat.  Kita bersusah payah berargumentasi, mencari dalil-dalil hukum, membuat kontrak tertulis dan menganalisis janji-janji yang diungkapkan, bukan yang tak terucapkan. Demikianlah kita membangun hubungan usaha dan bisnis dari apa yang diutarakan.  Kita memegang janji dari apa yang diucapkan.  Mulutmu adalah harimaumu, maka berhati-hatilah dalam berbicara.  Dan perusahaan pun membayar pengacara untuk membela kasus hukum secara legal formal.  Namun dalam bertarung dan memasarkan dirinya, para pengacara justru memakai bahasa tersirat.

Anda mungkin pernah merasa kecut menerima surat somasi dari seorang pengacara yang tengah \”genit\” membangun sensasi bisnisnya.  Pengacara-pengacara genit itu main gertak dengan nada tinggi, gemar muncul di televisi, menikah dengan selebriti, mengkoleksi mobil-mobil mahal, memakai kuncir dan anting-anting, menjadi pembela artis yang jadi pemberitaan besar, berbicara lantang dengan berani melawan arus publik, dan seterusnya.  Pokoknya, itulah marketing seorang pengacara sensasional.  Kualitas nomor dua, tapi charismatic authority karena terkenal dan sering masuk tivi jadi nomor satu.  Bila kurang kuat juga, masuk ke partai politik dan sedia memarahi para menteri dan jendral. Maka publik pun akan mengenal mereka sebagai orang yang nekad dan berani.  Di negeri yang tengah berubah, nekad itu ada tarifnya.

Bahasa Komisi Tiga
Sebagai anggota panitia seleksi calon pimpinan KPK, saya dan kawan-kawan pun mempelajari bahasa orang-orang genit yang sering kami temui di masyarakat.  Orang-orang genit itu melakukan banyak hal mulai dari mendaftar, menyerahkan surat lamaran, mengirim sms, menelepon sekretariat (tentu saja mereka tak berani berbicara langsung dengan kami), sampai ancaman-ancaman yang diucapkan dari gedung parlemen, polemik di koran dan debat di televisi.  Kalau Anda ada di dalam pansel KPk seperti saya, mungkin tidur Anda akan diwarnai banyak senyum.

Bayangkan mendaftar calon pimpinan KPK saja sambil membawa peti mati, diusung ratusan pendukung yang membawa poster yang diikuti telpon seorang petinggi partai yang marah-marah pada petugas sekretariat, gebrak meja saat antrian panjang dan seorang pejabat tinggi datang ( anehnya kalau hari sedang sepi tak ada yang berulah macam-macam). Lalu pada saat panitia menunggu masukan masyarakat, yang masuk adalah sms dukungan pada calon-calon tertentu dengan bunyi sms yang sama dari kelompok masyarakat yang berbeda.

Lalu, ujian terakhir datang dari oknum-oknum anggota Komisi Tiga DPR yang tak henti-hentinya mengancam akan mengembalikan calon yang sudah diseleksi karena jumlahnya \”kurang dua orang\”.  Saya yakin Anda pun sudah membaca drama polemik itu selama lebih dari dua bulan. Di Pansel KPK, debat itu tentu juga menarik perhatian.  Setiap kali mendapatkan teror polemik itu, wartawan selalu menanyakan kepada Pansel bagaimana pendapatnya.  Saya selalu mengatakan bahwa tugas kami sebagai panitia seleksi sudah selesai.  Jadi kalau mau berdebat ya berdebatlah dengan pemerintah karena kami sudah menyerahkan hasilnya kepada pemerintah. Kalau sudah dongkol saya pun mengatakan dalam hati, \”sekolahnya dimana sih mereka?\” Masa begitu saja tidak bisa diajak mengerti,  sudah tahu pimpinan KPK yang dicari empat orang, dan undang-undang mengatakan calonnya harus dua kali.  Lantas dua dikali empat itu jelas delapan, bukan sepuluh. Kok begitu saja jadi panjang? Lantas ketika Januari lalu kami mengirim dua orang untuk pengganti Pak Antasari Azhar, mereka juga tak minta calon sepuluh orang.  Mengapa kini jadi ramai?

Anda kini tentu sudah mengerti apa maksud itu semua bukan?  Benar!  Inilah bahasa manusia Indonesia yang tengah berubah.  Manusia-manusia yang genit, bukanlah manusia yang bisa dipahami dari apa yang diucapkan, melainkan apa yang disiratkan.  Dan Anda sudah tahu kesimpulan akhirnya bukan?  Setelah marah-marah dan berpolemik, mengatakan kalimat-kalimat aneh, akhirnya Komisi Tiga pun mengetuk palu, setuju dan menerima calon pimpinan KPK sebanyak delapan orang.  Saya pun lega.  Orang-orang yang kemarin berbicara aneh tiba-tiba menjadi  \”anak-Anak baik\” seperti orang yang baru disadarkan dari impian jahat.  Saya tak tahu apa yang telah dilakukan pemerintah untuk menyadarkan mereka, tetapi saya kira segelas jus jeruk perhatian lebih cukup daripada berdebat secara akademik dengan bahasa tersirat.  Itulah namanya Indonesia (yang tengah disandera orang-orang genit yang tengah mencari perhatian).

Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *