Dilema Pertumbuhan – Jawa Pos, 3 September 2013

Melemahnya mata uang rupiah menimbulkan banyak pertanyaan tentang masa depan perekonomian Indonesia. Bukannya apa-apa, untuk berubah menjadi negara yang ekonominya kuat, Indonesia perlu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sekaligus berkualitas. Dan negara-negara yang mampu tumbuh secara berkelanjutan memang tidak banyak.

Beberapa studi menemukan, hanya sepertiga dari negara berkembang yang mampu tumbuh terus menerus dengan tingkat pertumbuhan diatas 5% sejak tahun 1950. Tetapi setahun sebelum Amerika Serikat dilanda krisis (2008) hampir semua kawasan dunia mampu menjalani growth di atas 5%. Ruchir Sharma mencatat  114 negara. Berkat pertumbuhannya yang konsisten, Rusia pun berubah. Kesejahteraan bangsa ini tumbuh dari USD 1.500 (per kapita) menjadi USD 13.000.

Dia juga menemukan, kemampuan bangsa-bangsa mengatasi masalah inflasi telah semakin baik. Dengan demikian negara-negara yang mampu menekan inflasi di bawah 5%, meningkat, dari hanya 16 negara di tahun 1980, menjadi 103 negara pada tahun 2006. Menarik lagi disimak, negara-negara yang dulu menjadi langganan krisis (terhadap mata uangnya), justru di awal abad ini tumbuh besar-besaran. Mereka seperti lulus ujian dan menjadi lebih tangguh.

Pemenang Vs Pecundang

Kalau ditelisik lebih jauh, ternyata ditemukan hanya ada 6 negara yang mampu mempertahankan pertumbuhan ekonominya di atas 5% selama 40 tahun. Ke 6 negara yang diamati Sharma (2012) adalah 3 negara ASEAN (Singapura, Malaysia, dan Thailand), plus 3 negara Asia Timur (Korea Selatan, Taiwan, dan Hongkong). Tetapi dari 6 negara itu, hanya 2 negara yang mampu tumbuh terus-menerus di atas 5% sepanjang 50 tahun, yaitu Korea Selatan dan Taiwan.

Beda Negara, beda lagi perusahaan. Kalau ditengok lebih jauh, ternyata, lebih banyak perusahaan yang gulung tikar dan gagal melanjutkan pertumbuhannya sepanjang massa. Benar bahwa ada beberapa perusahaan yang mampu bertahan lebih dari 100 tahun. Tetapi jumlahnya tidak banyak, dan growth-nya semakin hari semakin redup.

Namun apa yang membedakan negara-negara yang tumbuh dan negara-negara yang jatuh bangun, ternyata adalah daya juang dan sikap para pemimpinnya. Jadi dari kacamata manajemen, pertumbuhan yang berkualitas itu amat ditentukan oleh leadership-nya: Pemenang atau pecundang.

Ketika meneropong kemajuan Rusia misalnya, para ahli melihat bagaimana Putin mengubah cara pengelolaan ekonomi dari mental pecundang menjadi mental pemenang. Putin beralih dari tekanan-tekanan domestik yang menuntut agar ia mengurangi hutang, ke tindakan-tindakan yang justru sangat ekspansif.

Dia melakukan investasi besar-besaran seperti yang dilakukan Mahatir Muhammad di Malaysia dalam bidang pendidikan, komunikasi, dan infrastruktur.  Ini berbeda dengan di negeri kita yang terlalu meng”entertain” subsidi, dan membiarkan birokrasi takut mengambil keputusan. Padahal cara terbaik tumbuh dengan mengatasi inflasi adalah dengan meningkatkan produktivitas.

Namun lebih menarik lagi bila kita meneropong kebangkitan ekonomi Korea Selatan yang justru sangat kontras dengan “saudara tuanya” yang dijadikan obsesi perlawan, yaitu Jepang. Korea Selatan justru keluar dengan gagasan-gagasan baru yang membuat dunia tertegun: K Pop, video games, dan industri-industri high tech. Meski beresiko tinggi, bahkan menjadi perhatian dunia, mereka berani menantang “raksasa” yang tengah berkuasa. Anda mungkin masih ingat bagaimana Samsung “duel” melawan Apple, atau K Pop vs Hollywood.

Anda mungkin masih belum lupa bagaimana mobil-mobil Korea dimasukkan ke sini dengan penuh cibiran : Timor. Meski dianggap : “murah” dan “murahan”, mereka gigih mengambil resiko untuk mencari celah memasuki pasar, di ujung kejatuhan pemerintahan Soeharto. Namun Korea segera berubah (dan ini berbeda dengan cara yang ditempuh Proton Saga Malaysia yang kurang berani dalam berperang memenangkan persaingan dunia). Ia bergeser dari produsen manufaktur barang-barang murahan ke teknologi tinggi.

Itulah yang disebut  Po Bronson sebagai Top Dog : pejuang kemenangan yang gigih dan berani menghadapi tantangan-tantangan baru. Sejak dibongkar oleh PM yang terbunuh, pada tahun 1979 (Park Chung Hee), Korea Selatan terus unjuk gigi. Ia memasuk industri baja dengan penuh kesungguhan. Lalu ke petro kimia, dan perkapalan.

Dari negara yang otokratik, Korea juga beralih ke Demokrasi. Tetapi bedanya dengan di sini, Korea Selatan amat serius memberantas korupsi dan mendorong industri kreatifnya tumbuh. Dan kalau dibandingkan dengan Jepang, maka di sini terlihat langkah-langkah Top Dog nya. Ketika dilanda krisis, Jepang justru membentengi dirinya dengan mempertahankan cara-cara lama. Perusahaan-perusahaan yang “sakit” dan berhutang besar dibiarkan menambah hutang seperti layaknya perusahaan-perusahaan Amerika Serikat.

Sebaliknya Korea Selatan justru membersihkan diri, dan memulainya kembali dari awal. Perusahaan-perusahaan itu tidak dimanjakan. Konsumen dan buruh-buruhnya juga tidak dimanjakan. Kaum tua dipaksa bertarung, bersaing melawan kaum muda. Kalau mau hidup enak, mereka harus kerja keras dengan dituntut terbuka terhadap pembaharuan. Sebaliknya di Jepang, selain dipertahankan (perusahaan-perusahaan yang bangkrut), senioritas dipertahankan. Subsidi yang tidak sehat di Korea dibatasi, diganti dengan investasi. Sebaliknya, pertanian di Jepang diproteksi. Tetapi ketika petani-petani sudah tak bisa bersaing dengan beras dan pangan impor. Jepang menjadi serba mendua dan sulit keluar dari berbagai kesulitan.

Ketika menutup bukunya, Po Bronson menulis: “We like competition for exactly that reason. It’s dangerous, and we want to be tested-to prove ourself. We want that thrill ride, beyond the limit of our fears.” Saya kira itu yang dibutuhkan, dan hanya pemimpin-pemimpin tertentu yang bisa melakukannya. Mereka itu kini menjadi role model, sayang mereka belum punya kuasa penuh.

Rhenald Kasali
founder Rumah Perubahan

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *