Jeda Setelah Umpan Balik Itu Penting

Pernah merasakan mendapatkan umpan balik yang tidak menyenangkan? Misalnya saja, ketika Anda sudah mengerjakan suatu penugasan sesuai dengan yang dipersyaratkan. Sudah juga mengerjakan sesuai dengan tenggat waktu yang diberikan. Tetapi, ketika sudah selesai, masih saja ada umpan balik yang tidak mengenakkan. Bagaimana perasaan Anda?

Dari rasa kecewa, marah, dan sedih, ada juga yang merasa dirinya bersalah. Bersalah karena tidak maksimal. Bisa juga bersalah karena tidak mencoba menggunakan cara lain yang mungkin bisa membawa hasil yang lebih optimal. Bagi sebagian orang, rasa bersalah itu juga sering menggelayuti benak pikiran. Bahkan bisa berhari-hari dan akhirnya, mengganggu produktivitas.

Mari, Jeda Sejenak

Sewaktu perasaan itu menghinggapi Anda, jangan langsung merasa emosional. Anda boleh mengambil jeda. Mengatur napas hingga perasaan menjadi lebih tenang. Apabila sudah tenang, Anda baru boleh melakukan evaluasi terhadap diri sendiri. Tidak melulu tentang apa yang menjadi kekurangan, melainkan juga yang menjadi kelebihan Anda.

Tetapi jangan sampai terjebak. Jangan sampai Anda membandingkan diri dengan orang lain. Sebab hasilnya akan berbeda. Membandingkan diri malah membuat perasaan bersalah Anda semakin besar. Sebaiknya mencoba untuk melihat diri Anda berdasarkan self-compassion.

Self-Compassion sebagai Kompas

Orang-orang yang memiliki kadar self-compassion yang baik dalam dirinya akan melihat dirinya sebagai orang yang dia cintai. Maka, ia akan berusaha “berbicara” dengan dirinya menggunakan bahasa-bahasa yang positif. Persis seperti Anda memberikan nasihat kepada rekan atau orang yang Anda kasihi. Menyadiri values yang Anda miliki juga akan membantu Anda untuk kembali bergairah dan bersemengat dalam memperbaiki kesalahan. Malah, akan menunjukkan bahwa dirinya telah belajar dari umpan balik yang diberikan kepadanya.

Bagaimana mengetahui apakah Anda memiliki kadar self-compassion yang baik? Orang-orang dengan self-compassion minimal menunjukkan tiga perilaku ini dalam kesehariannya:

Pertama, dia bisa menerima kesalahan dirinya sendiri daripada menjadi judgmental (misal, menganggap dirinya sebagai kegagalan). Kedua, mereka menyadari bahwa kesalahan dan kegagalan merupakan sebuah pengalaman hidup manusia. Tidak mungkin manusia tidak menemui kegagalan dalam perjalanannya. Termasuk di dalam produktivitas. Terkahir, orang dengan kadar self-compassion yang baik bisa mengimbangi emosi negatif dengan emosi positif. Ia tidak membiarkan dirinya “terjatuh” dalam rasa bersalah berlarut-larut.

Tetap Saja, Semua itu Adalah Growth Mindset

Apabila ditelisik lagi lebih lanjut, self-compassion juga merupakan bagian dari pola pikir berkembang atau growth mindset. Sejalan dengan hasil riset Carol Dweck, individu dengan growth mindset melihat bahwa kemampuan tidak bersifat kaku. Melainkan luwes dan bisa ditingkatkan jika mau mengusahakan hal tersebut. Mereka dengan growth mindset adalah orang yang akan terus mencoba dan belajar dari umpan balik yang diberikan.

Dengan kata lain, self-compassion bisa muncul apabila seseorang memiliki growth mindset. Begitu ia mendapatkan umpan balik yang negatif, ia lantas tidak mengutuk diri sendiri. Melainkan ia akan mencoba mengambil jeda sejenak, mencerna, dan mengevaluasi diri sebelum nantinya siap untuk mencoba lagi.

*Disarikan dari \”Give Yourself a Break: The Power of Self-Compassion\” karya Serena Chen

Sebarkan!!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *