Seperti yang kerap kita lihat bersama, ada banyak perusahaan dan organisasi yang berlomba-lomba untuk menjadi di depan. Mereka bersaing dengan kemajuan teknologi, berusaha menyeimbangkan iramanya agar tidak ketinggalan zaman. Gelombang disrupsi dilihat sebagai sebagai pemantik utama dari semua perubahan yang ada. Sebab jika tidak, perusahaan pun tergerus dan lam-lama akan menghilang. Mereka menjadi tidak relevan.
Tetapi, berbicara soal disruption, seringkali dihubungkan dengan perubahan secara digital. Apa-apa harus dikaitkan dengan teknologi sehingga menjadi sebuah pola pikir (yang belum tentu benar) bahwa disruption berarti transformasi teknologi dan digital secara radikal. Namun, apakah praktiknya memang dimaksudkan demikian?
Mitos #1: Disruption mendorong perubahan secara radikal dan digital terhadap value proposition
Faktanya, disruption mendorong perubahan digital dimana mengutamakan pada peningkatan pelayanan konsumen. Beberapa pemangku kebijakan dalam perusahaan meyakini jika ingin bertahan dalam era disrupsi, mereka harus mengubah value proposition. Padahal yang menjadi tantangan sebenarnya adalah bagaimana perusahaan menemukan cara pemanfaatan teknologi digital untuk dapat memenuhi keinginan konsumennya.
Mitos #2: Hal-hal yang digital akan menggantikan hal-hal yang bersifat fisik
Faktanya, disruption tidak secara keseluruhan membuat perusahaan menggantikan sesuatu yang fisik dengan digital. Disruption mendorong adanya kolaborasi antara yang digital dan yang fisik. Lagi-lagi, agar keinginan konsumen dapat terpenuhi dengan lebih baik. Ambil contoh salah satu gerai Galeries Lafayete yang berada di Champs-Elysees. Gerai GL tersebut tetap berdiri sebagai bentuk fisik sebuah toko sedangkan aspek teknologinya terletak pada kecerdasan buatan yang menjadi salah satu sistem di dalam toko. Lain waktu ketika konsumen berbelanja lagi di gerai GL, personal shopper sudah tahu jenis pakaian atau merk apa saja yang menjadi preferensi berkat bantuan dari kecerdasan buatan yang mampu mengelola informasi. GL bisa menyajikan koleksi yang lebih personal kepada masing-masing konsumennya.
Mitos #3: Disruption berarti mengakuisis start-up
Faktanya, sebuah perusahaan yang merasa harus mengakuisisi start-up agar dapat bertahan di era disruption tidak seluruhnya berhasil. Akuisisi terhadap start-up dapat berisiko menghancurkan kultur start-up. Risiko lainnya adalah talenta human capital yang memang bagus malah akan pergi begitu saja. Perusahaan yang mengerti akan hal ini akan memilih untuk menjalin hubungan yang hibrida antara dirinya dengan start-up. Mereka bisa saling memengaruhi khususnya dalam menciptakan inovasi-inovasi.
Mitos #4: Disruption adalah semua hal tentang teknologi
Faktanya, disruption adalah semua hal terkait konsumen. Semua petinggi dalam perusahaan pasti berpikiran kalau disruption berarti mengaplikasikan teknologi digital dalam setiap aspeknya. Namun, perusahaan yang mengerti betul arti disruption menyadari bahwa transformasi itu bermaksud untuk memberikan pelayanan yang lebih baik kepada konsumen. Misalnya saja melalui operasional yang lebih efektif, kustomisasi yang lebih fleksibel, dan hal-hal lainnya. Tetapi, disruption juga tidak menutup kemungkinan akan adanya perubahan struktur perubahan. Dalam hal ini, perusahaan dituntut untuk menjadi lebih agile. Mengkombinasikan ulang susunan tim juga merupakan bagian dari disruption.
(Disadur dari artikel Digital Doesn’t Have to Be Disruptive oleh Nathan Furr dan Andrew Shipilov)