Ketika kita sedang menonton konser dan melihat atraksi yang dilakukan oleh para pemain, biasanya seseorang mulai bertepuk tangan dan tiba-tiba seluruh ruangan ikut bertepuk tangan. Mengapa? Social proof. Social proof adalah kondisi sosial dimana seseorang akan merasa, bersikap dan berperilaku benar jika tindakan yang dilakukan sama dengan kelompok atau kebanyakan orang lainnya. Artinya, semakin banyak tindakan atau ide yang dilakukan oleh orang lain, maka semakin baik dan benar tindakan atau ide tersebut.
Seringkali terjadi bias dalam pikiran seseorang saat akan memberikan keputusan. Sehingga terjadi kekeliruan terhadap apa yang seseorang lakukan terhadap suatu penilaian, pilihan atau keputusan yang diambil. Bisa saja menjadi tidak sesuai dari koridor rasionalitas dan obyektivitas. Hal ini menjadi salah satu kekurangan dari social proof. Social proof terjadi dalam berbagai jenis aspek kehidupan, seperti teknik manajemen, hobi, agama hingga diet sekalipun.
Social Proof bisa Menggiring Pilihan Seseorang
Sebuah eksperimen sederhana yang dilakukan pada 1950-an oleh seorang Psikolog bernama Solomon Asch menunjukkan bagaimana tekanan yang dialami oleh seorang teman dapat mengganggu akal sehatnya. Subjek diperlihatkan pada sebuah garis yang digambar di atas kertas, dan di sebelahnya terdapat tiga garis lainnya yang diberi nomor 1, 2, 3. Garis nomor 1 lebih pendek, garis nomor dua lebih panjang dan garis nomor 3 memiliki ukuran yang sama dengan garis aslinya. Saat diberikan pertanyaan, garis mana yang ukurannya sesuai dengan garis aslinya? Jika subjek tersebut sedang sendirian di dalam kamar, ia akan memberikan jawaban yang tepat, karena tugasnya sangat sederhana. Sekarang ada lima orang lainnya memasuki ruangan; mereka adalah significant others yang membantu peneliti, yang tidak diketahui oleh subjek. Satu demi satu memberikan jawaban yang salah, ada yang mengatakan nomor 1, meskipun sangat jelas bahwa nomor 3 adalah jawaban yang benar. Setelah itu subjek kembali mendapatkan giliran menjawab. Dalam sepertiga kasus, ia akan menjawab secara salah untuk memiliki argumen yang sama dengan orang lain.
Mengapa seseorang bisa bersikap demikian? Di masa lalu, mengikuti kegiatan orang lain adalah strategi untuk bertahan hidup. Pola seperti ini sudah menjadi akar di dalam diri kita sehingga kita masih menggunakannya sampai sekarang. Kita adalah keturunan langsung dari orang-orang yang terbiasa meniru orang lain.
Ketika Social Proof menjadi hal yang awam bagi society, itu pulalah yang dimanfaatkan oleh para orkestrator. Mereka merancang agar hal-hal yang mulanya asing, menjadi sebuah new normal dalam kehidupan.
Maka, bersikaplah skeptis setiap kali sebuah perusahaan mengklaim produknya adalah yang terbaik hanya berbasis pada popularitas yang mereka miliki. Seorang penulis novel bernama W. Somerset Maugham’s mengatakan: “If 50 million people say something foolish, it is still foolish.” Jangan-jangan, itu hanya strategi untuk memobilisasi massa semata. Bagaimana menurut Anda?